Mohon tunggu...
Agnes Cellyana
Agnes Cellyana Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer; a wife.

A housewife with a wide grin who tries her best for her little lovely family.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bapakku, si Kampungan yang Akhirnya Tinggal di Kota

26 November 2020   23:58 Diperbarui: 27 November 2020   00:15 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beliau sangat benci orang yang malas belajar. Sebagai dosen, dia akan marah ketika mahasiswanya mematikan kamera di pembelajaran era pandemi ini. Dia selalu mengingatkan agar mahasiswanya belajar dengan baik karena mereka sudah membayar untuk berkuliah. Beliau mencontohkan dirinya yang berkuliah gratis dibiayai Pemerintah sampai S2 dan selalu belajar dengan baik. Padahal gratis. Apalagi yang bayar, harus belajar dengan baik.

Bapak saya pandai bergaul. Instingnya dalam pergaulan sangat tajam. Dia tahu siapa yang akan menjerumuskannya dan siapa yang tidak. Dasar politiknya yang kuat agaknya membuat beliau sangat berhati-hati. Orangnya peka dan jeli, tidak bisa ditipu. Hal ini menurun pada kami berdua. Sangat terbuka namun selektif. Bijaksana dalam berkawan. Menurutnya, hal ini penting bagi kehidupan kami, karena kami tidak bisa lepas dari yang namanya teman, namun kita harus bisa memilih teman mana yang bisa diajak untuk bekerjasama, untuk bercerita dll.

Beliau juga mengajari kami untuk cerdas dalam melihat situasi dan harus adaptif. Baginya, tak penting kami dapat ranking berapa di sekolah, yang penting adalah kecerdasan kami. Beliau berujar bahwa ketika kami cerdas, kami pasti bisa bertahan hidup. Ini benar-benar saya tanamkan dalam diri.

Dalam keseharian, terkadang Bapak saya bisa sangat kampungan. Memakan makanan norak, memakai baju yang kurang gres, menerapkan peradatan Batak yang menurut saya dan adik saya tidak relevan dalam hidup modern (meskipun sebenarnya tidak juga), memasang stiker Apple di case ponsel Samsungnya (SUMPAH INI NYATA) maupun melakukan sesuatu yang gak kekinian banget. 

Tapi beliau berusaha menyesuaikan diri. Ia mengenalkan lidahnya pada takoyaki, sushi, spaghetti, ramen, kimchi atau apapun yang anak-anaknya suka makan. Padahal dia sangat suka kikil di restoran padang. Ia juga berusaha mengerti kata pansos, alay, lebay dll. Berusaha memahami iMac yang menurutnya menyusahkan. Pokoknya gigih sekali dalam memodernisasi diri.

Setiap kali melihat Bapak saya, yang ada hanya rasa bangga sekaligus membatin sambil tertawa; duh, Bapak saya suka kampungan, deh. Tapi prinsipnya yang baik, tentu saya tanamkan dalam diri. 

Meskipun Bapak saya kampungan, namun di dalam dirinya ada nilai-nilai luhur yang bisa dipegang. Si kampung masuk kota, begitu saya menjulukinya. Namun dia tetap bangga sebagai orang kampung sekaligus terus menyesuaikan diri dengan kehidupan perkotaan. 

Sekarang beliau belajar bercocok tanam, kegiatan yang menurut kami kampungan tetapi tetap dia lakoni dengan baik dan akhirnya membuahkan hasil, sembari memaksa saya untuk memanen hasil kebunnya setiap kali saya pulang ke rumah. Saya sih manut saja, lumayan untuk kami makan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun