Mohon tunggu...
Agnes Cellyana
Agnes Cellyana Mohon Tunggu... Freelancer - A freelancer; a wife.

A housewife with a wide grin who tries her best for her little lovely family.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Invasi Kedai Kopi

7 September 2019   23:57 Diperbarui: 8 September 2019   00:02 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tinggal di suatu kota bernama Serang di Provinsi Banten sejak 2014 sampai saya berumah tangga pada tahun 2019 membuat saya lumayan memperhatikan perkembangan di Kota tersebut.

Kota ini menunjukkan perubahan yang cukup pesat. Salah satunya adalah dengan adanya invasi kedai kopi. Kedai kopi di Kota Serang jumlahnya berkisar 20 kedai kopi, baik yang berdiri dengan brand sendiri maupun yang membeli franchise. Belum dihitung kedai biasa yang juga menyediakan kopi-kopi gemas.

Yang saya kagumi adalah setiap saya datang ke kedai kopi manapun, selalu saja ramai dengan orang. Padahal kedai kopi 'kan tidak hanya satu, tetapi hampir semua kedai kopi ramai pengunjung setiap hari.

Maraknya trend bertemu rekan sejawat di kedai kopi agaknya menjadi salah satu sebab musabab mengapa kedai kopi begitu menjamur di berbagai tempat. Dalam penerawangan saya dan Roy Kiyoshi, masyarakat madani sekarang malas menerima tamu di rumah.

Alasannya tidak bisa bebas ngobrol lah, tidak enak menyuruh tamu pulang cepat dan alasan klise lainnya. Ada juga alasan yang masuk akal sekaligus membuat istri ngambek selama 2 minggu: kopi buatan istri tak seenak kopi buatan mas-mas barista.

Perpaduan antara kopi, susu, gula merah serta bumbu-bumbu dapur lainnya dengan harga yang cukup terjangkau membuat orang-orang rela menyisihkan sebagian rezekinya demi segelas kopi yang begitu memanjakan lidah. Suami tercinta hampir menjadikan kopi sebagai kebutuhan primer sebelum akhirnya mengurungkan niat karena saya sudah mengulurkan struk belanja kebutuhan yang ternyata lumayan membludak. Rasanya ingin menyurati Jokowi agar harga-harga barang diturunkan sedikit supaya saya bisa menyisihkan anggaran untuk kopi suami.

Dalam fenomena kedai kopi ini, saya melihat hal menarik, yaitu kebanyakan pemilik atau penggagas kedai kopi adalah anak muda. Lifestyle kita rupanya telah mendorong kreativitas serta jiwa wirausaha dari anak-anak muda.

Secara pribadi saya takjub dengan kemampuan generasi masa kini dalam melihat kesempatan dan segera menyambarnya. Oportunis kan tidak apa-apa toh, selama hasilnya positif.

Barista pun kini menjadi profesi yang menjanjikan. Banyak teman saya yang kuliah di jurusan yang tidak ada nyambung-nyambungnya dengan profesi barista, tetapi akhirnya terjun menjadi sang peracik kopi ajaib yang bikin ketagihan. Dan rata-rata mereka punya ciri khas tersendiri yang kemudian menjadi warna bagi kedai kopi tersebut.

Saya bukan pecinta kopi, tapi saya sedikit banyak tahu ada perbedaan dalam berbagai jenis kopi susu, kopi favorit saya. Ada yang strong sampai bikin lambung protes, yang biasa saja, ada yang terlalu pahit. Dari situ saya menarik kesimpulan dalam bahtera perkopian ini bahwa setiap barista atau brand memiliki ciri khasnya sendiri dalam meracik kopi.

Berkibarnya bendera indie juga pasti sedikit banyak memberi pengaruh pada pertumbuhan kedai kopi. Tahu 'kan kalau anak indie dan kopi itu bagaikan laut dan pantai; takkan terpisahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun