Pendekatan Semiotika Ferdinand de Saussure
Semiotik berasal dari kata Yunani "semeion" yang berarti tanda. Dalam semiotik, tanda dianggap mewakili sesuatu yang lain dan terbangun atas dasar konvensi sosial, kebudayaan, dan kehidupan yang telah terbangun sebelumnya. Teori semiotik dikembangkan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk teknologi komputer, dan mempelajari hakikat tanda, ciri-cirinya, perannya, serta aturan penggunaannya. Salah satu pemikir utama dalam ilmu semiotik adalah Ferdinand de Saussure, yang membedakan antara 'signifier' (penanda) dan 'signified' (petanda), serta mengemukakan konsep 'langue' (sistem bahasa sebagai fakta sosial), 'parole' (ucapan individu sebagai manifestasi aktual dari 'langue'), dan 'langage' (aktivitas linguistik yang merupakan gabungan dari 'langue' dan 'parole').
Pendekatan semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure adalah metode untuk memahami tanda-tanda dan simbol-simbol dalam komunikasi, khususnya dalam konteks bahasa. Saussure, seorang ahli linguistik Swiss, memperkenalkan beberapa konsep kunci dalam semiotika yang membentuk dasar bagi banyak teori semiotik kontemporer. Berikut adalah beberapa konsep utama dari pendekatan semiotika Saussure:
- Tanda (Sign): Menurut Saussure, tanda adalah kombinasi dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk fisik tanda, seperti suara, kata, atau gambar, sedangkan petanda adalah konsep atau makna yang diwakili oleh penanda.
- (Signifier): Ini adalah aspek material atau ekspresif dari tanda, seperti urutan suara dalam ucapan atau urutan huruf dalam teks yang membentuk kata.
- Petanda (Signified): Ini adalah aspek konseptual atau isi dari tanda, yaitu ide atau konsep yang dipikirkan ketika seseorang mengenali penanda.
- Arbitrer: Saussure menekankan bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah arbitrer, atau berdasarkan konvensi sosial, bukan karena alasan alami atau intrinsik. Artinya, tidak ada alasan inheren mengapa suatu objek tertentu harus diwakili oleh suatu kata tertentu; ini adalah hasil dari kesepakatan sosial.
- Langue dan Parole:
- Langue: Ini adalah sistem bahasa sebagai keseluruhan, yang merupakan kumpulan aturan dan konvensi yang digunakan oleh komunitas penutur. Langue adalah aspek sosial dari bahasa dan merupakan objek utama studi dalam linguistik.
- Parole: Ini adalah penggunaan bahasa individu, manifestasi aktual dari langue dalam konteks komunikasi sehari-hari. Parole adalah ekspresi konkret dari langue dan bervariasi dari satu situasi ke situasi lain.
Ilmu dalam pendekatan Semiotika menurut Ferdinand de Sausure yaitu ilmu semiotika strukturalisme adalah pendekatan yang memandang bahasa dan sistem tanda lainnya sebagai struktur yang memiliki elemen-elemen yang saling terkait dan berfungsi bersama dalam suatu sistem. Strukturalisme, sebagai aliran pemikiran, berpendapat bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap, dan bahwa manusia dipengaruhi oleh sistem dalam lingkungannya.
Dalam konteks semiotika strukturalisme, bahasa dipahami sebagai suatu sistem tanda yang memiliki struktur. Ini berarti bahwa bahasa tidak hanya sekumpulan kata atau frasa yang berdiri sendiri, tetapi setiap elemen bahasa memiliki nilai dan makna karena hubungannya dengan elemen lain dalam sistem.
Ferdinand de Saussure, yang sering dianggap sebagai bapak strukturalisme dalam ilmu semiotika, memperkenalkan konsep dasar bahwa tanda-tanda linguistik terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, seperti suara atau tulisan, sedangkan petanda adalah konsep atau ide yang diwakili oleh penanda tersebut. Hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat arbitrer, yang berarti tidak ada hubungan alami atau esensial antara keduanya, melainkan hubungan tersebut didasarkan pada konvensi sosial.
Saussure juga membedakan antara 'langue' (sistem bahasa sebagai fakta sosial yang terdiri dari aturan ucapan dan tulisan, ejaan, tata bahasa, dan sintaksis) dan 'parole' (penggunaan bahasa individu atau manifestasi aktual dari 'langue'). 'Langage' adalah aktivitas linguistik yang merupakan gabungan dari 'langue' dan 'parole'.
Dasar untuk mengenakan pajak adalah kebutuhan negara untuk membiayai berbagai kegiatan dan layanan publik yang diperlukan oleh masyarakat. Pajak merupakan kontribusi wajib yang harus dibayar oleh wajib pajak tanpa mendapatkan imbalan langsung yang spesifik. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya. Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, dasar pengenaan pajak diatur dalam berbagai undang-undang dan peraturan, termasuk Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan undang-undang khusus yang mengatur tentang jenis-jenis pajak tertentu.
Apa itu PMK No.127/PMK.010/2016
Special Purpose Vehicle (SPV) dalam konteks perpajakan, khususnya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127/PMK.010/2016, adalah entitas yang didirikan dengan tujuan khusus, biasanya untuk menjalankan fungsi tertentu seperti pembelian dan/atau pembiayaan investasi. SPV ini tidak melakukan kegiatan usaha aktif dan sering digunakan oleh wajib pajak untuk memiliki harta secara tidak langsung.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127/PMK.010/2016 mengatur tentang pelaksanaan pengampunan pajak bagi wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui Special Purpose Vehicle (SPV) berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. PMK ini diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum dan pelaksanaan pengampunan pajak bagi wajib pajak yang memiliki harta melalui SPV, yang tidak diatur secara spesifik dalam PMK sebelumnya, yaitu PMK Nomor 118/PMK.03/2016.
PMK ini menetapkan bahwa tata cara pemberian pengampunan pajak, kewajiban investasi atas harta yang diungkapkan, pelaporan, upaya hukum, serta manajemen data dan informasi bagi wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui SPV harus berpedoman pada PMK Nomor 118/PMK.03/2016 beserta perubahannya. Dalam PMK ini, pengampunan pajak didefinisikan sebagai penghapusan pajak yang belum terbayar yang diberikan kepada wajib pajak yang mengungkapkan hartanya. PMK ini juga mengatur bahwa jika perjanjian pengalihan hak atas harta yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2017, maka pengalihan hak tersebut akan dikenai pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PMK ini juga menjelaskan tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir (SPT PPh Terakhir), yang merupakan SPT PPh untuk tahun pajak 2015 bagi wajib pajak yang akhir tahun bukunya berakhir antara 1 Juli 2015 hingga 31 Desember 2015, atau SPT PPh untuk tahun pajak 2014 bagi wajib pajak yang akhir tahun bukunya berakhir antara 1 Januari 2015 hingga 30 Juni 2015.
Hubungan tax treaty dengan Special Purpose Vehicle (SPV) dan PMK Nomor 127/PMK.010/2016
Perjanjian pajak internasional, atau yang sering disebut dengan perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), adalah kesepakatan antara dua negara yang bertujuan untuk menghindari pajak berganda atas penghasilan atau keuntungan yang timbul di satu negara dan dibayarkan kepada penduduk negara lain. Perjanjian ini juga menyediakan kerja sama perpajakan antara otoritas pajak dari negara-negara yang terlibat.
Special Purpose Vehicle (SPV) adalah entitas hukum yang terpisah yang dibuat untuk tujuan tertentu, sering digunakan untuk mengisolasi risiko keuangan, mengelola aset keuangan, atau memfasilitasi pengaturan pembiayaan. SPV dapat digunakan dalam transaksi dan investasi lintas negara, dan perlakuan pajaknya dapat dipengaruhi oleh tax treaty hubungannya antara lain:
- Kedudukan Pajak (Residency): Tax treaty biasanya memberikan manfaat kepada penduduk dari negara-negara yang membuat perjanjian. Jika SPV didirikan di negara yang memiliki tax treaty dengan negara asal penghasilan, SPV mungkin mendapat manfaat dari tarif pajak penghasilan yang lebih rendah atas dividen, bunga, dan royalti, atau jenis penghasilan lain yang tercakup dalam perjanjian.
- Kepemilikan Manfaat (Beneficial Ownership): Tax treaty sering kali mensyaratkan bahwa entitas yang mengklaim manfaat perjanjian harus merupakan pemilik manfaat dari penghasilan. Jika SPV hanya berperan sebagai perantara dan bukan pemilik manfaat, maka SPV mungkin tidak berhak atas manfaat perjanjian.
- Pendirian Tetap (Permanent Establishment): Tax treaty umumnya menyatakan bahwa keuntungan usaha dapat dikenakan pajak di negara di mana wajib pajak memiliki pendirian tetap. Jika SPV menciptakan pendirian tetap di negara lain melalui kegiatan usahanya, keuntungan yang dapat diatribusikan ke pendirian tetap tersebut mungkin akan dikenakan pajak di negara tersebut.
Interpretasi dan penerapan tax treaty terhadap SPV sangat bergantung pada ketentuan spesifik dalam perjanjian pajak yang relevan dan hukum di yurisdiksi yang terkait. Selain itu, otoritas pajak di berbagai negara mungkin memiliki pandangan yang berbeda mengenai status SPV dan bagaimana perjanjian pajak diterapkan, yang dapat mempengaruhi kewajiban pajak dan manfaat yang diperoleh SPV.
Sedangkan hubungan antara tax treaty dan PMK No.127/PMK.010/2016 ini terletak pada perlakuan pajak terhadap harta yang dimiliki melalui SPV yang mungkin terpengaruh oleh perjanjian pajak yang berlaku antara Indonesia dan negara tempat SPV didirikan. PMK No. 127/PMK.010/2016 memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengungkapkan harta yang dimiliki melalui SPV dan memanfaatkan program pengampunan pajak yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia . Dalam konteks tax treaty, Wajib Pajak yang memiliki harta melalui SPV di negara yang memiliki perjanjian pajak dengan Indonesia mungkin dapat memanfaatkan tarif pajak yang lebih rendah atau penghindaran pajak berganda sesuai dengan ketentuan perjanjian tersebut. Namun, untuk memanfaatkan manfaat tax treaty, SPV harus memenuhi kriteria tertentu, seperti menjadi pemilik manfaat (beneficial owner) dari penghasilan dan tidak hanya berfungsi sebagai perantara
Dalam memahami konsep Special Purpose Vehicle (SPV) dalam konteks PMK No. 127/PMK.010/2016 menggunakan diskursus semiotika Ferdinand de Saussure, kita perlu membedah tanda-tanda linguistik yang terkait dengan SPV sebagai sebuah entitas dalam peraturan perpajakan Indonesia. Menurut de Saussure, tanda semiotik terdiri dari dua komponen: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, seperti kata-kata, suara, atau gambar, sedangkan petanda adalah konsep atau ide yang diwakili oleh penanda. Signifier (Penanda): Ini adalah bentuk fisik dari tanda, seperti kata-kata, suara, atau gambar. Dalam konteks PMK No. 127/PMK.010/2016, penanda adalah teks peraturan itu sendiri, termasuk judul, nomor peraturan, dan kata-kata yang digunakan dalam dokumen hukum tersebut. Signified (Petanda): Ini adalah konsep atau ide yang diwakili oleh penanda. Dalam hal PMK No. 127/PMK.010/2016, petanda adalah konsep pengampunan pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki Harta Tidak Langsung melalui Special Purpose Vehicle (SPV).
Penanda (Signifier): Dalam konteks PMK No. 127/PMK.010/2016, penanda adalah istilah "Special Purpose Vehicle" atau "SPV" yang muncul dalam teks peraturan . Ini adalah bentuk fisik dari tanda yang dapat dilihat dalam dokumen hukum.
Petanda (Signified): Petanda adalah konsep yang diwakili oleh istilah "Special Purpose Vehicle". SPV dalam konteks peraturan ini adalah perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.
Dalam menerapkan pendekatan semiotika Saussure ke PMK No. 127/PMK.010/2016, kita dapat melihat bahwa:
- Penanda adalah bahasa hukum yang digunakan dalam peraturan tersebut, termasuk istilah-istilah teknis seperti "Pengampunan Pajak", "Harta Tidak Langsung", dan "Special Purpose Vehicle".
- Petanda adalah konsep-konsep yang diwakili oleh istilah-istilah tersebut, yaitu ide pengampunan pajak sebagai kesempatan bagi Wajib Pajak untuk melaporkan harta yang belum diungkapkan sebelumnya dengan insentif tertentu, seperti penghapusan atau pengurangan kewajiban pajak.
Dalam konteks hubungan antara penanda dan petanda dalam PMK No. 127/PMK.010/2016 dengan menggunakan pendekatan semiotika Ferdinand de Saussure:
- Penanda adalah elemen-elemen linguistik yang terdapat dalam teks peraturan, seperti kata "Pengampunan Pajak", "Harta Tidak Langsung", dan "Special Purpose Vehicle (SPV)". Penanda ini merupakan bentuk fisik yang dapat dilihat atau didengar, yang dalam hal ini adalah teks tertulis dari peraturan tersebut.
- Petanda adalah ide atau konsep yang diwakili oleh penanda tersebut. Misalnya, ketika kita membaca kata "Pengampunan Pajak", kita tidak hanya melihat sekumpulan huruf tetapi juga memahami konsep di baliknya, yaitu program yang ditawarkan oleh pemerintah untuk memungkinkan Wajib Pajak mengungkapkan harta yang sebelumnya tidak dilaporkan dengan imbalan insentif seperti penghapusan atau pengurangan kewajiban pajak.
Dalam konteks PMK No. 127/PMK.010/2016, hubungan antara penanda dan petanda dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Penanda (teks peraturan) mengkomunikasikan petanda (konsep pengampunan pajak) kepada pembaca, yaitu Wajib Pajak dan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pengampunan pajak.
- Petanda (konsep pengampunan pajak) memberikan makna kepada penanda (teks peraturan), sehingga teks tersebut tidak hanya dianggap sebagai rangkaian kata tanpa makna tetapi sebagai instrumen hukum yang memiliki tujuan dan fungsi tertentu dalam konteks perpajakan Indonesia.
- Dengan demikian, PMK No. 127/PMK.010/2016 sebagai sebuah dokumen hukum merupakan sistem tanda yang kompleks di mana penanda dan petanda saling terkait untuk menghasilkan makna dan memfasilitasi komunikasi antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Referensi:
Saussure, F. de. (1916). Cours de linguistique gnrale. (Bally, C., Sechehaye, A., & Riedlinger, A., Eds.). Lausanne and Paris: Payot.Â
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127/PMK.010/2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H