Malas, ‘lembek’, manja. Siapa yang tidak pernah mendengar sebutan tersebut? Sebutan yang sering disematkan pada generasi Z, generasi yang lahir pada kisaran tahun 1997 hingga 2012 ini. Mereka masih punya julukan lainnya. Generasi instan, generasi yang hanya mementingkan kemudahan, suka di zona nyaman, dan masih banyak sebutan lain.
Namun tahukah kamu, meski gen Z identik dengan sebutan diatas, tapi populasi gen Z memiliki jumlah yang sangat besar. Di Indonesia saja, populasi gen Z mempunyai presentase lebih dari seperempat penduduk yakni sebanyak 74.93 juta jiwa atau 27.94% dari total populasi, sedangkan dalam skala global populasinya mencapai 41% dari penduduk dunia.
Mengulik sebutan yang diberikan, ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Roberta Katz, seorang peneliti senior dari Stanford University beserta Sarah Ogilvie, Jane Shaw, dan Linda Woodhaed yang menemukan bahwa gen Z adalah generasi yang sangat peduli kepada orang lain, pekerja keras, serta memiliki jiwa sosial dan kolaborasi yang tinggi. Gen Z adalah generasi yang tumbuh beriringan dengan teknologi, yang karena selalu tumbuh bersama, mereka akhirnya dianggap menjadi generasi bablas yang tidak bisa hidup tanpa teknologi barang sehari pun. Bahkan data statistik yang diterbitkan oleh Hootsuite pada 2021 menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 73,7%, sedangkan pengguna di dunia sebesar 59,5% dari total populasi.
Mustafa Ozkan dan Betul Solmaz dari Turki pun demikian. Melalui penelitannya, mereka juga menemukan bahwa 75,12% generasi Z menganggap bahwa bekerja berarti bahagia, bekerja berarti memiliki hal baru yang dipelajari. Mereka juga sadar bahwa dengan bekerja mereka bisa memiliki jaminan finansial untuk kehidupan mereka di masa depan. Mereka bahkan bersedia untuk bekerja di kota atau di negara lain untuk mendapatkan gaji lebih tinggi maupun kesempatan kerja yang lebih baik. Bukankah ini bisa menjadi bukti bahwa gen Z memiliki kesadaran tinggi terhadap masa depan?
Jika kita mengamati lagi apa yang pernah terjadi, mulai dari persoalan kemanusian, krisis ekonomi, pandemi covid-19 yang menyebabkan kecemasan berlebihan, bahkan perang di beberapa negara telah menjadi persoalan nyata yang terus mengiringi gen Z saat ini. Namun, justru faktor-faktor itulah yang kemudian melatih mereka untuk memiliki kepribadian yang adaptif. Lantas, apakah sebutan diatas masih harus tetap dipercayai? Apakah gen Z masih seburuk yang selama ini dibicarakan oleh banyak orang?
Kita tidak bisa memisahkan kelekatan antara gen Z dengan teknologi. Namun, kita bisa memanfaatkan kelekatan tersebut untuk membangun keterampilan dan keahlian gen Z untuk menciptakan inovasi dan kreativitas mereka yang bisa digunakan untuk menciptakan dunia yang lebih baik sekaligus menghadapi tantangan kompleks di masa depan.
Referensi
Feedback-Seeking Behavior Generasi Z. Diakses pada 30 Juni 2023
Gen Z are not ‘coddle.’ They are highly collaborative, self reliant, and pragmatic. according to new Stanford affiliated research. Diakses pada 30 Juni 2023
Gen Z Bakal Mendominasi Media Sosial, Populasinya Lebih dari 41 Persen di Seluruh Dunia. Diakses pada 30 Juni 2023
Generasi “Milenial” Dan Generasi “Kolonial” https://www.djkn.kemenkeu.go.id/. Diakses pada 30 Juni 2023
Generation Z Within the Workforce and in the Workplace: A Blibliometric Analysis.
Hootsuite (We are Social): Indonesian Digital Report 2021. Diakses pada 4 Juli 2023.
The Changing Face of The Employees Generation Z and Their Perception of Work ( A Study Applied to University Students)
Understanding Indonesian’s Generation Z (2018). International Journal of Engineering & Technology, 7(3), 245-252.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H