Aristoteles, seorang filsuf besar Yunani Kuno, memberikan kontribusi besar pada  banyak disiplin ilmu, termasuk etika. Salah satu konsep paling terkenal yang ia tawarkan adalah eudaimonia, yang sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan."  Namun, pemahaman Aristoteles tentang kebahagiaan melampaui sekadar perasaan senang atau pencapaian material. Dalam filsafatnya, eudaimonia berarti "kehidupan yang baik" atau "kesejahteraan sejati," yang diperoleh melalui pengembangan kebajikan dan hidup sesuai dengan sifat manusia yang rasional (Huta, 2021). Kebahagiaan sejati, menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba atau diberikan oleh keadaan luar. Sebaliknya, kebahagiaan adalah hasil dari hidup yang dijalani dengan tujuan dan pengembangan karakter. Setiap manusia, menurut Aristoteles, memiliki telos---tujuan akhir alami---yang dapat dicapai ketika seseorang mengembangkan potensi penuhnya sebagai makhluk rasional (Peterson & Seligman, 2020). Hidup yang tidak sejalan dengan kebajikan atau tujuan alami ini tidak akan membawa kebahagiaan sejati, karena tidak memenuhi sifat dasar manusia (MacIntyre, 2023).
     Kebahagiaan, menurut Aristoteles, memiliki sifat yang mandiri (self-sufficient). Artinya, kebahagiaan tidak tergantung pada faktor eksternal, seperti nasib baik atau kekayaan. Sebaliknya, kebahagiaan sejati berasal dari cara seseorang menjalani kehidupannya dengan baik. Hidup yang baik ini dicapai dengan bertindak secara rasional dan hidup sesuai dengan kebajikan. Hal ini mencerminkan pandangan Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk rasional, dan kebahagiaan mereka tergantung pada sejauh mana mereka dapat menjalani hidup dengan cara yang sejalan dengan sifat rasionalitas mereka. Untuk mencapai kebahagiaan, Aristoteles menempatkan kebajikan (arete) sebagai elemen utama. Kebajikan, dalam pandangannya, adalah kualitas moral atau karakter yang memungkinkan seseorang bertindak dengan cara yang benar dan baik. Ia membagi kebajikan menjadi dua jenis utama:
- Kebajikan Intelektual: berkaitan dengan akal budi dan pengembangan pengetahuan. Contohnya adalah kebijaksanaan (sophia) dan wawasan rasional (nous). Kebajikan intelektual diperoleh melalui pengajaran dan pembelajaran.
- Kebajikan Moral: berhubungan dengan karakter dan tindakan. Contohnya adalah keberanian, keadilan, dan pengendalian diri. Kebajikan moral dikembangkan melalui kebiasaan dan latihan dalam kehidupan sehari-hari.
     Aristoteles berpendapat bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat yang memungkinkan warganya untuk hidup dengan kebajikan dan mencapai eudaimonia. Oleh karena itu, pemerintah atau pemimpin memiliki tanggung jawab untuk menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan kebajikan warganya. Dalam konteks ini, pendidikan menjadi alat penting untuk membentuk individu yang berbudi luhur dan menciptakan masyarakat yang harmonis (MacIntyre, 2023).
     Aristoteles memandang kehidupan kontemplatif (bios theoretikos) sebagai bentuk kehidupan yang paling tinggi dan mulia. Dalam kehidupan ini, seseorang mengarahkan hidupnya pada pencarian kebenaran dan kebijaksanaan melalui refleksi dan pemikiran mendalam. Aristoteles percaya bahwa aktivitas kontemplatif mencerminkan penggunaan akal yang paling murni, yang merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk rasional.
     Namun, Aristoteles tidak mengabaikan pentingnya aktivitas praktis dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyadari bahwa tidak semua orang dapat sepenuhnya menjalani kehidupan kontemplatif, karena banyak yang terlibat dalam aktivitas praktis dan sosial. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya menemukan keseimbangan antara kehidupan kontemplatif dan kehidupan praktis untuk mencapai kebahagiaan sejati (Nicomachean Ethics, 2022)
Fungsi Manusia sebagai Realisasi Potensi Penuh
     Salah satu aspek penting dari filsafat Aristoteles adalah konsep fungsi manusia (ergon). Ia berargumen bahwa untuk memahami apa yang membuat hidup manusia baik, kita harus memahami fungsi atau tujuan alami manusia. Sebagaimana mata memiliki fungsi untuk melihat dan pisau memiliki fungsi untuk memotong, manusia memiliki fungsi unik yang membedakan mereka dari makhluk lain, yaitu rasionalitas.
     Aristoteles percaya bahwa fungsi manusia adalah hidup sesuai dengan kemampuan rasional mereka. Dalam praktiknya, ini berarti menggunakan akal untuk membuat keputusan yang bijak, memecahkan masalah, dan bertindak dengan kebajikan. Dengan menjalani hidup yang sejalan dengan fungsi rasional ini, manusia dapat mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati (Peterson & Seligman, 2020).
Kebijaksanaan Praktis sebagai Kunci Kebahagiaan
     Dalam filsafat Aristoteles, phronesis atau kebijaksanaan praktis menjadi salah satu pilar utama untuk mencapai kebahagiaan. Kebijaksanaan praktis adalah kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak dan rasional berdasarkan pengalaman hidup, refleksi, dan pemahaman yang mendalam (Peterson & Seligman, 2020). Berbeda dari pengetahuan teoritis, phronesis lebih bersifat praktis, membantu individu menghadapi situasi sehari-hari dengan cara yang tepat dan penuh kebajikan.
     Konsep ini juga sangat relevan dalam kehidupan sosial. Aristoteles memandang manusia sebagai makhluk sosial (zoon politikon), yang berarti kebahagiaan seseorang tidak dapat dipisahkan dari kebahagiaan masyarakat di sekitarnya (Nicomachean Ethics, 2022). Dengan kata lain, kebijaksanaan praktis membantu seseorang tidak hanya menjalani kehidupan pribadi yang baik, tetapi juga menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat.
     Dalam kehidupan seorang sarjana, phronesis dapat diterapkan dalam berbagai aspek, mulai dari pengambilan keputusan akademis, penentuan prioritas, hingga bagaimana mereka memengaruhi orang-orang di sekitar mereka. Sebagai contoh, mahasiswa yang menghadapi dilema antara mengejar ambisi akademis dan menjaga hubungan sosial dapat menggunakan phronesis untuk menemukan keseimbangan yang bijaksana.