Mohon tunggu...
Agung Hidayat
Agung Hidayat Mohon Tunggu... -

aku yang dipatahkan dan mematahkan.\r\nkonsep dunia terkadang sempit, sebatas diperlakukan dan melakukan.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hujan Tanpa Tuhan

13 Januari 2014   16:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13896049811935117499

[caption id="attachment_289944" align="aligncenter" width="300" caption="© devianart"][/caption]

Sedang hujan di luar perpustakaan. Dan aku, terlalu malas untuk menghadapinya. Kuputuskan untuk menunggu hingga ia reda.

Apa aku takut basah? Tidak juga. Aku hanya malas untuk berpenampilan penuh kelembapan. Lagipula hari ini aku tidak memakai rompi atau sejenis jaket seperti biasanya. Kaos yang tengah kukenakan pastilah gampang membuat bayangan kurus tubuhku. Dan aku kurang menyukainya.

Apa arti hujan bagimu? Pertanyaan itu timbul dari benakku sendiri. Sebab, waktu Ashar telah masuk. Mushola di dalam gedung perpustakaan ini belum juga kumasuki. Artinya Sembahyang belum aku tuntaskan pada Ashar ini. Aku lebih memilih untuk menatap nanar pada jendela. Tidak mengharapkan hujan segera reda. Bukan pula berusaha menghitung jumlah rintik yang menyapa tanah. Hanya sekadar merenung. Siapa tahu berbuah inspirasi yang bisa ku petik dan jadikan bait puisi.

Apa hujan menghalangiku perjumpaan dengan Tuhan? Tidak juga. Setiap waktu, setiap napas, setiap derit jam, dan setiap kerlipan mata aku anggap kita selalu berjumpa denganNya. Hanya saja, sebagian dari kita tidak terbiasa merasakan kehadirannya. Yang dimana Ia bergabung pada rerumputan taman, menyuil pada bola mata bocah jalanan, pada semaknya lampu kota, pada peluh pekerja tua yang mengais rejeki sepanjang sore, juga pada hujan ini. setiap rintik yang menyapa tanah ada bekasNya. Maka dari itu, aku harapkan renungan melihat hujan ini tidak menyia-nyiakan makhluk bernama waktu. Yang selalu diciptakan untuk mengejar-ngejar manusia. Entah berapa gaji yang diberikan Pencipta padanya?

Apa hujan ini jadi penghalang kau berjumpa dengan Tuhan? Aduh, mengapa kau mengulang kembali pertanyaanmu? Isinya sama, nadanya serupa hanya kata-katanya sedikit diubah. Ah! Tidak inovatif. Baiklah aku terangkan, yang mungkin kau maksud mengapa aku tidak salat jua. Malahan aku asyik membuat tulisan ini. Ketahuilah, Sembahyang yang kau sangka momen jumpa pada Tuhan itu bagiku semacam laporan pesuruh pada tuannya. Kita diminta untuk melaporkan diri dengan waktu yang berkala dan punya sistematika. Setiap laporan kita bebas menggumulkan perasaan, dengan basis akan adanya pertanggungjawaban. Tidak sembarangan orang yang bisa bagus laporannya di mata sang Tuhan. Orang-orang yang sekadar melapor demi memenuhi standar kehidupan tidak akan dinilai baik. Bah! Betapa banyak orang yang semacam itu. orang-orang yang Nyinyir mengingatkan dengan dalih berdakwah, tapi tak pernah sungguh-sungguh dalam melapor diri pada Penciptanya.

Pikiran ini akan kau apakan? Untuk sekarang biarlah dibungkus dulu. Supaya semakin rapih tentu perlu perenungan lebih. Penalaran dengan basis pikiran jernih akan semakin sangat membantu.

Aha kau pikir ritual sembahyangmu selama ini tidak berguna ketimbang menulis dan membaca? Tidak bisa disamakan. Pertanyaan tadi sangat sarkastis. Menurutku, ketiga aktivitas itu yakni sembahyang, menulis, dan membaca ialah suatu pekerjaan. Dan sebaik-baiknya manusia yang dicintai Tuhan ialah orang yang mempunyai pekerjaan. Terlepas hal itu menghasilkan secara materi atau tidak, yang jelas suatu pekerjaan yang memiliki dampak positif maksimal untuk lingkungannya dan minimal untuk dirinya sendiri pada dasarnya baik. Ketiga aktivitas yang kau coba bandingkan tadi ialah cara mengenal Tuhan. Ia tidak bisa diresapi hanya dengan ratusan sujud mengumandangkan asmanya. Ia tidak bisa dipahami hanya dengan membaca tingkahpolah makhluknya. Ia tidak akan pernah bisa dimengerti jika sekadar menuliskan ribuan artikel membahas tentang kuasa-Nya. Ia tak kan bisa digapai dengan satu cara saja. Sedangkan dengan ketiga cara itu dilakukan, seperseribu jarakpun takkan terpenuhi. Sungguh suatu kesia-siaan orang yang merasa bisa berhasil menggapainya. Orang itu takkan mampu.

Lalu bagaimana hubunganmu dengan-Nya? Kau masih meneliti perkara hujan jatuh ini? akhirnya pikiran pragmatismu mulai mereda. Ketahuilah, bahwa hubunganku denganNya tidak pernah kumengerti sistemnya. Tidak pernah aku mengerti status keberadaanku dimataNya. Dan tak pernah aku pahami keterkaitan semesta keberadaanku yang kecil ini bagiNya. Yang kutahu hanyalah bagaimana menjalin hubungan ini dengan semestinya.

Dengan cara menunda sembahyang dan lebih memilih bertasbih bersama hujan? Hujan ini jatuh dan dendang rintiknya menggelitikku untuk merenung. Aku hanya berharap suatu sifat arif dan bijak mampu terpatri dalam hatiku. Bukankah Dia Maha Arif lagi Bijaksana. Aku juga berharap punya intuisi yang lembut dalam melihat titik-titik kehidupan. Karena Dia jelas-jelas Pencipta yang penuh kelembutan. Aku hanya ingin sejuknya udara selepas hujan dapat mengantarkan hatiku, jiwaku, dan segenap pikiranku pada kedamaian denganNya.

Hujan masih belum reda. Tulisan ini kupikir ditamatkan saja. Diskusinya tentu tidak akan kunjung usai. Terimakasih pikiranku, hujan, waktu, takdir, kebendaan yang meggoda jiwaku, dan tentu saja Tuhan! Sang pencipta yang tak pernah bisa kupahami.

Bulaksumur, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun