Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Juru Parkir, Malaikat bagi Anak Penderita HIV/AIDS

11 Mei 2017   22:02 Diperbarui: 11 Mei 2017   22:02 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar mentari mulai menyengat, kala seorang juru parkir sedang memarkirkan kendaraan pribadi hingga minibus yang ada di sepanjang jalan slamet riyadi. Tubuh gempalnya berlari kian kemari ketika melihat kode kendaraan yang ingin parkir ataupun keluar dari perkantoran sepanjang jalan.

Puger Mulyono, seorang bapak dengan empat anak ini sehari-hari berprofesi sebagai  juru parkir. Dari pekerjaannya ia memperoleh pendapatan sekitar lima puluh ribu setiap harinya. Dari penghasilannya yang terbilang sangat minim itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Namun disisi lain, Puger juga harus menyisakan sedikit uangnya untuk anak-anak yayasan yang diasuhnya.

Yayasan Lentera Surakarta

rumah singgah lentera. dokpri
rumah singgah lentera. dokpri

Yayasan Lentera Surakarta didirikan sekitar tahun 2012, merupakan sebuah tempat penampungan anak-anak yang menderita penyakit hiv/aids. Belasan anak-anak pengidap HIV tertampung disana. Mereka berasal dari daerah asal yang berbeda-beda. Puger mendapati anak-anak tersebut ketika dihubungi oleh beberapa pihak termasuk rumah sakit.

 “Setiap mendengar kabar dari pihak tertentu ataupun rumah sakit bahwa, ada anak yang mengidap penyakit hiv/aids saya buru-buru datang untuk mengambilnya. Karena pihak keluarganya sudah tidak mau lagi menerimanya karena takut virus itu akan menular.” Ujar puger.

Dengan mengambil anak-anak yang sudah tidak dikehendaki oleh keluarganya ia berusaha menampung dengan wujud cinta kasih dan kepedulian, berbentuk sebuah rumah singgah. Rumah singgah itu berada tak jauh dari tempat ia bekerja memarkir kendaraan. Sembari bekerja sesekali ia menyempatkan waktu untuk menengok keadaan anak-anak yang berada di rumah singgah.

Ketika dia datang sorak keceriaan anak-anak terlihat disana. Wajah anak-anak penuh keceriaan itu terpancarkan ketika sang bapak juru parkir itu datang. Mereka terlihat manja kepada puger yang merupakan pengasuh sekaligus orang tuanya saat ini.

keceriaan anak-anak. dokpri
keceriaan anak-anak. dokpri
Rumah singgah lentera ini ia kelola bersama rekannya Pak Yunus. Segala kebutuhan akan yayasan berasal dari uang pribadinya dan juga bantuan dari beberapa donatur rutin. Besarnya biaya pengeluaran di rumah singgah itu meliputi pengobatan rutin, kebutuhan sehari-hari, juga kebutuhan sekolah anak-anak lainnya.

Niat baik puger dengan rekan-rekannya mengurus ADHA (Anak Dengan HIV/AIDS) tidak selalu mendapat respon positif dari masyarakat. Beberapa kali warga melakukan penolakan terhadap anak-anak yang menempati rumah singgah tersebut.

Puger berkisah, para warga yang menolak kebanyakan karena khawatir akan keberadaan anak-anak penderita HIV/AIDS ini menularkan penyakitnya kepada anak-anak lainnya.

“Saya beberapa kali menjelaskan kepada warga sekitar tentang penularan penyakit hiv/aids, namun mereka tetap tidak bisa mengerti dan terus menolaknya. Juga dari pemkot kala itu mengirimkan para penggiat hiv/aids dan dokter untuk melakukan penyuluhan kesini, namun warga tetap tidak mau tahu dan terus melakukan penolakan.” Kenang puger.

Dengan berbagai penolakan yang diterimanya tidak lantas membuat sosok puger dan rekannya menyerah. Ia tetap pada pendiriannya untuk terus bertahan mengurus anak-anak yang berada rumah singgah tersebut.

puger dengan salah satu anak rumah singgah. dokpri
puger dengan salah satu anak rumah singgah. dokpri
Masalah besar lain yang dihadapi Puger adalah ketika anak-anak sudah enggan untuk melakukan pengobatan secara rutin. Perasaan iri dan minder akan teman sejawat lainnya yang hidup sehat membuat anak-anak berpikir demikian. Gangguan psikis dan biologisnya semakin memburuk, akibatnya ada beberapa anak yang depresi dan sering mengurung diri.

“Setiap melihat salah satu anak yang menangis hati saya terasa teriris. Mereka adalah anak-anak yang tidak berdosa, tidak selayaknya mereka menderita penyakit ini.” Tutur Puger.

Ketika mendapati anak yang terlihat mengurung diri puger mendampingi dan terus memberikan motivasi semangat. Bahkan dia menjanjikan sesuatu pada anak-anak ketika mau pergi berobat, misal mengajaknya ke taman bermain ataupun sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota. Semua semata-mata dilakukan untuk menyenangkan anak-anak untuk melupakan penyakit yang menyerang dirinya.

Dengan penuh perjuangan puger terus mendorong anak-anak rumah singgah lentera untuk terus bersemangat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, juga mendapat perlakuan yang sama seperti anak pada umum lainnya.

“Saya hanya ingin anak-anak bisa diterima dan mendapat perlakuan yang sama dari masyarakat. Dengan begitu tentu anak-anak akan makin bersemangat dalam menjalani kehidupan.” Ujar Puger.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun