"Maaf ya nek banyak kerupuk yang rusak." Sembari memasukkan kerupak temanku berujar pelan.
"Tidak apa nak." Ia membalas dengan senyum.
"Nenek kok bisa cepat sekali membungkusnya sih? Dan terlihat masih kuat sekali." Ujar salah seorang teman wanita.
"Mungkin sudah terbiasa melakukan semua ini nak. Dahulu nenek juga seperti kalian, tapi makin lama sudah biasa." Balas nenek dengan halus.
"Nenek kan sudah tua dan sudah tinggal seorang diri, kenapa nenek tidak ikut anak nenek saja?" Temanku bertanya kembali.
"Aku tidak ingin merepotkan anakku nak. Aku masih bisa melakukan semuanya tanpa harus merepotkan anakku walaupun dengan segala keterbatasan. Asal aku mau bekerja aku pasti bisa makan, yang terpenting anakku dan cucuku bahagia disana." Nenek membalas lembut, senyum tulus terpancar dari mimik wajahnya.
Hatiku langsung bergetar seketika mendengar jawabannya. Ingin sekali ku ceritakan padanya keadaan generasi kami saat ini. Namun aku merasa sangatlah malu dengannya.
Dalam batin aku melirih, nek kehidupan kami saat ini sangatlah enak. Dengan segala fasilitas yang diberikan orang tua membuat kami menjadi terlena. Kami tidak tahu hakikat perjuangan dan kerja keras seperti yang kamu miliki saat ini. Kami lebih senang bermain, menghabiskan uang, dan melakukan apapun demi kesenangan. Kami bisa melakukan semua itu karena hasil meminta dari orang tua kami. Pun terkadang kami memaksa orang tua untuk bisa memenuhi segala yang kami inginkan. Tanpa tau bagaimana perjuangan yang mereka lakukan demi kebahagiaan kami.
Kamu tau nek, generasi kami lebih senang menunggu dan meminta. Kami tidak tahu bagaimana cara menghasilkan uang seperti apa yang nenek lakukan. Toh seandainya ingin bekerja, kami selalu menjagakan dari orang tua kami. Entah diberikan modal olehnya, menunggu kabar dari rekan atau koleganya untuk dimasukan kerja, ataupun meneruskan usaha yang sudah dilakukannya.
Bukankah itu lebih simpel dan enak nek? Kami memilih itu semua karena tidak mau repot dan capek.
Angin semilir mulai bertiup. Perlahan masuk ke dalam tubuh menyentuh hati. Air mata mulai membendung. Ku tatap rembulan di langit yang masih meredup. Aku masih terdiam menghadap langit dan terus berkontemplasi. Sembari menceritakannya pada diary.