Ku harap kau takkan melupakan masa-masa indah itu.
rindu. Hening. Aku menatap langit-langit kamar, termenung dalam sepi, mencoba merunut kejadian yang menjadi awal perjumpaan kita. Semakin kucoba mengingat, semakin dalam pula rasa rindu ku. "Masih ingatkah engkau ketika kita sering berbincang di ruangan kelas saat jamkos?" tanyaku dengan suara yang kini parau. Dulu, setiap kali mata kita bertemu, aku benar-benar hanyut. Tak tahu harus apa selain menatapnya dalam-dalam. Lewat matamu juga, aku tahu bahwa dirimu memiliki mimpi-mimpi besar. Aku ingin membantumu menggapainya satu per satu --- menjadi bagian dalam sejarah hidupmu. "Masih ingatkah engkau ketika kita saling bertukar pendapat tentang hal yang harus dilakukan di masa depan?" tanyaku dengan nada getir. Saat malam tiba, aku sering terjaga, membuka jendela, lalu menatap langit yang ditaburi bintang-bintang. Kini, aku hanya bisa menyampaikan pesan rinduku lewat malam. Aku berharap angin malam dapat mengantarkan pesan ini kepadamu. Ya, engkau benar, sekarang ini, aku sering mengadu pada malam sembari memanjatkan doa supaya engkau bahagia dan baik-baik saja di sana. Meski kini waktu telah menentukan nasib kenangan itu, aku tetap akan berjuang supaya indahnya setiap detik waktu itu tidak sepenuhnya sirna. Dan meski jarak telah memisahkan kita, kenangan itu tetap abadi, terukir dalam setiap detak hati yang penuh rindu. Seperti bintang di langit malam yang tetap bersinar meski jauh, begitu pula perasaan ini --- akan terus ada, meskipun tak terlihat. Walau kini kita berjalan di labirin yang tak terduga, hatiku masih menyimpan harapan untuk kembali berada di sampingmu, dalam kebahagiaan yang sama, dalam tawa yang dulu kita bagi.Â
Di malam ini, roda kembali memutar kenangan beberapa kurun waktu yang lalu, belum begitu lama. Senin, 24 Juni 2024. Kita akhirnya berjumpa setelah sekian lama. Duduk berdua di bangku minimarket itu. Masih ku ingat warna baju yang engkau kenakan, coraknya, bahkan gambarnya masih teringat jelas di benak kepala. Canggung. Itulah perasaan pertama yang ku rasakan setelah sekian purnama tak berjumpa. "Suasana kali ini terasa berbeda," gumamku di dalam hati. Untungnya, aku masih sanggup untuk bersitatap dengan mata lembut itu, mata yang begitu menenangkan hati. Sepeminum teh, akhirnya mulut ini berani mengeluarkan kalimat yang tak terduga, "Udah lama, ya?" kataku memecah keheningan. Engkau membalasnya dengan senyum. Aku melihat itu adalah senyum paling tulus yang engkau berikan padaku. Sangat indah. Berkat senyum itu, suasana lekas mencair. Tak ada lagi kecanggungan yang kini telah memaku kedua mulut. Kita berbicara lepas, mengingat semua kenangan yang telah kita lalui bersama ketika masih berseragam putih-abu. Tawamu begitu renyah, hati ku lega mendengarnya. Pun tak jemu-jemu aku mendengarkan dirimu yang sedang asyik bercerita tentang keseharianmu selama di rumah. Oh! Aku hampir lupa memberi ucapan selamat kepadamu karena telah berhasil diterima di salah satu universitas yang ada di Malang. "Gas, Merantau!" sahutku dengan nada mantap. "Jelas dong, kakak-kakak Malang nih!" balasnya penuh semangat. Tak ada bayang-bayang lain yang mengganggu pikiran saat itu. Kehadirannya sungguh berarti sehingga saat-saat itu hanya dipenuhi dengan gelak dan tawa. Di malam ini, asrama begitu hening, pintu-pintu kamar tertutup rapat, menyisakanku yang selalu berharap untuk kembali ke masa-masa itu. Masa yang penuh dengan tawa dan hal konyol lainnya. "Apakah kau merasakan hal yang sama denganku?" tanyaku dalam hati. Ini hanya persoalanBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H