Pertengahan agustus 2019 lalu, saya 'mudik' alias pulang kampung ke kota kelahiran saya, DKI Jakarta. Seperti biasa, saya menyiapkan barang-barang yang saya butuhkan, mengecek cuaca dan lain-lain.Â
Normal saja, selayaknya pejalan lainnya. Hanya saja, kali ini saya menyiapkan sesuatu yang sedikit berbeda mengingat berita di linimasa media sosial ramai memberitakan angka polusi yang tak kunjung turun.
Udara Jakarta, jika saudara tahu, itu kering. Memang tak sekering gurun pasir di Saudi Arabia, tapi jauh lebih kering dibanding udara Jogja yang lembab. Udara panas yang kering, dikombinasikan dengan polusi dan asap itu benar-benar tidak enak untuk dihirup.Â
Dari jauh-jauh hari saya melakukan riset mini soal bagaimana melindungi diri dari polusi, mengingat ISPA dan alergi debu saya yang bisa kambuh kapan saja.Â
Ada yang menyarankan untuk menggunakan masker N95 yang bisa menyaring partikel asap dengan lebih baik daripada masker bedah biasa. Ada juga yang menyarankan untuk menggunakan air purifier mini saat berada didalam ruangan.Â
Macam-macam saran yang saya kumpulkan dari bacaan di internet dan obrolan meja kopi dari teman-teman yang paham soal kesehatan. Andai kata dompet saya mampu membayarnya, pasti saya akan melakukan semua saran-saran tersebut tanpa pandang bulu.Â
Obrolan soal menangkal polusi udara terus bergulir, sampai salah seorang sahabat berkata dengan lantang, "kalau kamu beli maskernya online, terus dikirim pake kendaraan yang menghasilkan polusi juga, berarti kamu berkontribusi menyumbang polusi juga dong!"
DEG!
Baru sekali ini saya berpikir sejauh itu.Â
Ya, sepele memang. Saya membeli masker untuk melindungi diri saya sendiri dari polusi udara dan dalam proses melindungi diri itu, tanpa sadar saya juga turut menciptakan polusi udara. Carbon Footprint, alias Jejak Karbon istilah populernya. Â
Mengenal Jejak Karbon
Jejak karbon adalah total emisi yang dihasilkan dalam suatu peristiwa. Jejak karbon ini terdiri dari dua jenis yaitu jejak karbon primer dan sekunder.Â