Kapitalisme menurut Adam Smith adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada kebebasan individu untuk mengatur kegiatan ekonomi tanpa banyak campur tangan dari pemerintah. Dimana konsep ini dijelaskan secara rinci dalam bukunya, The Wealth of Nations (1776), yang menjadi landasan teori kapitalisme modern. Smith berpendapat bahwa dengan mebiarkan individu mengejar kepentingan pribadi, pasar akan secara otomatis menemukan keseimbangan yang menguntungkan semua pihak melalui mekanisme “tangan tak terlihat” atau “invisible hand”.
Kapitalisme telah meresap ke dalam berbagai sektor di Indonesia, termasuk bidang pendidikan. Di sektor ini, pendekatan pasar semakin terlihat, terutama melalui kebijakan seperti perguruan tinggi berbadan hukum (PTN BH) dan penerapan sistem pembiayaan berbasis komoditas, seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT). Hal ini membuat pendidikan yang seharusnya mennjadi hak dasar berubah menjadi barang mahal yang tidak mudah diakses oleh semua orang. Dalam konteks ini, pendidikan sering dianggap sebagai komoditas yang harus menghasilkan keuntungan, baik melalui kerja sama dengan industri maupun peningkatan biaya pendidikan.
Situasi ini tidak hanya memperbesar kesenjangan sosial tetapi juga memengaruhi arah pendidikan nasional, yang dimana lebih fokus pada pasar daripada pengembangan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 mejelaskan bahwa Ekonomi Indonesia tidak menggunakan mazhab pasar bebas, tetapi berasaskan kekeluargaan. Menurut Presiden RI Prabowo dilansir dari CNBCIndonesia.com, Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang mengambil hal terbaik dari kapitalisme dan sosialisme, yaitu menyediakan peluang untuk berinovasi dengen kebebasan pasar, tetapi juga memperhatikan dan melindungi jaring pengaman sosial (social safety net) untuk masyarakat yang paling rentan. Konsep Ekonomi Pancasila yang diajukan ini sangat menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan nilai-nilai yang ada dalam ideologi Pancasila, yaitu moral, keadilan sosial, dan berkelanjutan leingkungan.
Isu yang terjadi pada dunia pendidikan Indonesia tahun 2024, yaitu kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Seperti yang terjadi di beberapa Perguruan Tinggi Negeri Universitas Soedirman (UNSOED), ditahun 2024 terjadi lonjakan drastis untuk Program Studi Peternakan golongan V sebesar Rp12.500.000 yang sebelumnya Rp2.500.000 pada tahun 2023. Rata-rata UKT ini meningkat sebesar 30-50%, setelah Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengeluarkan surat yang memerintahkan pembatalan dan pencabutan rekomendasi kenaikan UKT. Isu ini hingga akhirnya tenang pada 27 Mei 2024. Setelah diterapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Indonesia semakin mengarah pada kapitalisme. Menurut Ubaid Matraji, selaku Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), selama UU PENDIDIKAN Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 tidak dibatalkan, semua PTN di Indonesia akan berubah status menjadi PTN BH.
Dalam konteks ini, pendiddikan sering dianggap sebagai barang yang harus mendatangkan keuntungan, baik melalui kerja sama dengan indsutri maupun kenaikan biaya pendidikan. Fenomena ini tidak hanya memperlebar kesenjangan sosial tetapi juga memengaruhi arah pendidikan nasional, yang lebih fokus pada pasar daripada pengembangan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan. Pendidikan seirng dianggap sebagai suatu kebutuhan yang harus mendatangkan keuntungan, baik melalui kerja sama dengan industri maupun kenaikan biaya pendidikan. Situasi ini tidak hanya memperlebar kesenjangan sosial tetapi juga memengaruhi arah pendidikan nasional, yang lebih fokus pada pasar daripada pengembangan masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
Biaya kuliah di PTN BH, terutama UKT, terus meningkat. ini menyebabkan akses pendidikan tinggi semakin sulit bagi masyarakat dengan penghasilan rendah. Pada tahun 2024, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia tercatat 39,37, lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, dan Singapura. Tingginya biaya pendidikan merupakan salah satu faktor yang menghalangi akses. Kapitalisme juga mengubah cara berpikir masyarakat. Nilai-nilai tradisionla yang berlandaskan kolektivitas tergantikan oleh individualisme dan materialisme. Ini menghasilkan masyarakat terpecah, dimana solidaritas sosial melemah. Perubahan ini menganca dasar budaya gotong royong yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
Fenomena PTN BH dengan Uang Kuliah Tinggi (UKT) tinggi menunjukkan dampak dari siistem kapitalisme dalam pendidikan tinggi Indonesia. PTN BH diberikan kebebasan untuk mengelola keuangan, termasuk menentukan tarif UKT. Dengan pemikiran ini. Perguruan tinggi diharuskan mencari sumber pendpatan tambahan di luar subsidi pemerintah, seringkali dengan menaikkan biaya kuliah. Akibatnya, akses pendidikan menjadi semakin sulit bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu, memperbesar kesenjangan sosial dalam sektor pendidikan.
Kenaikan UKT menyebabkan masalah lain, seperti stress mental dan keuangan bagi mahasiswa dan orang tua mereka. Biaya yang tinggi dapat mempengaruhi kemampuan mahasiswa untuk fokus pada pembelajaran, sementara orang tua sering kali harus mencari sumber dana tambahan, seperti meminjam uang atau menjual brang. Ini berisiko menciptakan ketergantungan utang pada generasi muda yang baru memasuki dunia kerja. Meskipun ada skema bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, cakupannya sering tidak memadai.
Kapitalisme, pendidikan, dan Ekonomi Pancasila memiliki hubungan yang rumit dan saling memengaruhi, terutama di Indonesia. Kapitalisme dalam pendidikan terlihat melalui commercial layanan pendidikan, seperti penerapan sistem perguruan tinggi berrbadan hukum (PTN BH) dan tingginya biaya pendidikan, sehingga akses pendidikan berkualitas sering kali tergantung pada kemampuan keuangan individu. Dalam sistem ini, pendidikan cenderung menjadi alat untuk menghasilkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar, mengabaikan aspek Pembangunan moral dana sosial yang lebih luas.
Di sisi lain Ekonomi Pancasila menekankan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial, sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam sila kelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Namun, dari sudut pandang institusi, kebijakan ini juga menunjukkan tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan daya saing global. PTN BH memakai dana dari UKT untuk mendanai fasilitas, penelitian, dan program yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional. Meskipun begitu, tanpa regulasi yang jelas dan sistem subsidi yang cukup, kebijakan ini berisiko mengabaikan pendidikan sebagai hak dasar.
Pemerintah telah berusaha menerapkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan untuk mengurangi dampak negative dari kapitalisme, meskipun dalam pengimplementasinya belum sepenuhnya optimal:
- Pemerintah memberikan bantuan melalui KIP Kuliah, tetapi jumlah penerimanya seringkali masih tidak cukup dibandingkan dengan kebutuhan. Perlu penyesuaian kriteria penerima dan peningkatan alokasi anggaran.
- Pemerintah telah menetapkan Batasan kenaiikan UKT, tetapi pelaksanaannya masih sering tidak konsisten. Dibutuhkan mekanisme yang lebih jelas untuk mengawasi kebijakan pembiayaan di PTN BH.
- Pemerintah mendorong program beasiswa baik dari anggaran negara maupun kerjasam sengan sektor swasta, tetapi jangkaunnya perlu diperluas.
Fenomena PTN BH dengan UKT tinggi menunjukkan masalah antara memperbaiki kualitas pendidikan dan mempertahankan akses untuk semua orang. Walaupun kebijakan pemerintah seperti beasiswa dan pengawasan UKT adalah langkah baik, usaha yang lebih terkoordinasi diperlukan untuk membangun sistem pendidikan yang inklusif sesuai dengan prinsip Pancasila. Solusi yang terbaik adalah gabungan antara efisiensi keuangan dan dukungan sosial, dimana perguruan tinggi bisa maju tanpa mengorbankan hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikn yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H