Mohon tunggu...
Agis
Agis Mohon Tunggu... Lainnya - A Learner

Seorang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kembali ke Sekolah (?)

25 Juli 2020   08:55 Diperbarui: 25 Juli 2020   08:44 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sekolah (pixabay.com)

"Lah masuk sekolah anak-anak, Yuk?"
"Anak-anak tetap belajar dari rumahlah, Mbak. Ayuk biasonyo ambek LKS atau tugas satu pekan sekali lah ke sekolah."
"Oh, gitu. Blajarnyo kek mano, Yuk?"
"Semuo murid kemarin tu dimintak nomor whatsup, Mbak. Semuo informasi di grup whatsup tulah."
"Ado kendala, Yuk?"
"Hmmm... Ayuk kan kerja yo, Mbak. Klo pagi lah harus ke rumah orang, bersih-bersih. Kadang tu, ayuk agak litak dan waktunyo tu nah, Mbak. Ayuk harus kerjp dan ngajarin anak belajar jugo, kan. Ayuk kadang jugo dak ngerti, jadi suruh anak cari dewek di internet. Hmmm... Teros biayo kuota lumayan, apolagi kalo video. Tapi nak kek mano lagi, Mbak."
"Kalo orang tuo lain kek mano, Yuk?
"Idak semuo punyo HP dewek, Mbak. Dak semuo anak jugo masuk grup whatsup. Kemarin adolah anak  yang numpuk tugas hampir satu pekan. Heran lah guru-guru tu. Pas dicek, ternyato HP tu bukan punyo anak tu atau orang tuonyo. Keknyo masih anggota keluargo, tapi mungkin apo yo... Kareno HP tu jugo buat kerjo keluargo yang laen, mungkin tenggelam pesan grup sekolah tu atau lupo nak bilang samo anak/orang tuo anak tu. Akhirnyo, mintaklah orang tuonyo keringanan hari ngumpulin tugas anaknyo, Mbak. Gurunyo bilang iyo. Dakpapo, buk. Dak biso makso jugolah, Mbak. Kondisi kito beda-beda."

Keterangan: lah= sudah; litak= lelah; dewek= sendiri; teros= terus; dakpapo= tidak masalah; ayuk= sapaan untuk perempuan yang berarti kakak, mbak; kito= kita

Sore kemarin, Saya berbincang dengan Ayuk di rumah yang sedang menunggu jemputan suaminya. Percakapan tersebut hanyalah sepenggal cerita dari bentangan kisah Ayuk tentang proses belajar anak-anaknya di rumah selama pandemi. Kisah ini niscaya dialami pula oleh beberapa anak dan orang tua lain. Mungkin ada yang tidak percaya atau bahkan bertanya-tanya,

"Masa iya, belum punya HP yang bisa internet di jaman sekarang? HP kan sudah banyak yang murah?" Namun, begitulah realita yang ada. Tidak semua memiliki "handphone, apalagi kuota, atau jaringan" yang mumpuni. Kata "murah" bisa jadi "mahal bahkan barang mewah" bagi mereka yang untuk memenuhi kebutuhan dasar saja harus  berjuang dari pagi hingga malam untuk memenuhi beberapa kebutuhan anggota keluarga. Bukanlah lebay, tetapi realita di lapangan berkisah demikian. 

Apakah ada yang ingat "adu argumen" beberapa bulan sebelum tahun ajaran baru dimulai? Ada wacana bahwa "anak-anak akan masuk sekolah seperti biasa- belajar dengan tatap muka", tapi ide tersebut menuai kritik tajam dari sejumlah pihak tersebab kekhawatiran potensi transmisi meningkat.

Faktanya, relatif  tidak mudah mengawasi anak-anak tetap melakukan pembatasan fisik di sekolah, terlebih ketika bermain. Bisa saja kemungkinan seperti ini terjadi pada "anak-anak kecil",

"Ihhh...masker kamu lucu ya."
"Iya, nih. Kamu mau lihat? Boleh."
atau kemungkinan interaksi lainnya yang memperbesar potensi penularan.

Ada pula yang mendukung kebijakan tersebut diterapkan dan tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Dengan kata lain, sekolah dan para pengajar dituntut untuk meningkatkan fasilitas dan supervisi yang memadai agar supremasi protokol terpenuhi.  Namun pada akhirnya, proses belajar tetap dilaksanakan secara daring. 

Pada 13-20 April 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survey pada 1.700 responden dari beragam jenjang pendidikan (TK hingga SMA) dari 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota tentang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama masa pandemi covid-19.

Berdasarkan laman berita KPAI, respon yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi yang terjadi antara guru dan murid hanya sebesar 20,1% sedangkan sisanya berupa pemberian tugas. Anak-anak mengeluhkan penugasan yang banyak dengan batas waktu yang "relatif sempit".

Merespon kondisi ini, Saya paham jika para guru memiliki tujuan yang mulia, yakni pencegahan agar anak tetap produktif belajar di rumah. Kita tak pernah tahu pula faktor-faktor tertentu yang dimiliki guru sehingga minim interaksi.

Bisa jadi, guru tersebut memiliki keterbatasan dalam penggunaan teknologi yang lebih bervariasi, mengalami keterbatasan kuota pula untuk melakukan pembelajaran yang lebih interaktif, atau menyesuaikan kondisi mayoritas murid. Hasil survey juga menunjukkan bahwa anak-anak mengaku kesulitan saat pembelajaran daring karena kuota internet (42,2%).

KPAI juga mendapati bahwa masih terdapat murid yang belum memiliki peralatan yang mendukung untuk pembelajaran jarak jauh (15,6%). Hal ini semakin membuat saya terenyuh dan teringat beberapa kisah perjuangan yang sempat viral, seperti video seorang pemulung tua membawa sekarung uang receh untuk membeli HP bagi sang cucu atau kegigihan anak-anak bangsa berjalan menuju bukit untuk memperoleh sinyal yang memadai.

Pada satu sisi, fenomena ini semakin menyadarkan kita bahwa pembangunan fasilitas pendidikan dan teknologi masih belum merata, terutama di pelosok negeri. Pada sisi lain, kejutan dadakan ini menguji perjuangan para pendidik, anak, dan orang tua di tengah faktor-faktor yang "tidak dapat dikendalikan".

Situasi ini memang tidak biasa, semua serba seperti kejutan tak diinginkan. Ada aneka tantangan bagi anak, orang tua, sekolah, dan regulator. Setiap pihak ditantang untuk merancang mekanisme proses belajar "kebiasaan baru" selama pandemi. Mungkin setiap pihak mulai merasa jenuh, bahkan cenderung pasrah pada kondisi dan melontarkan tanya, "Berapa episode pendemi covid-19 yang harus kita mainkan?" Belum ada manusia yang bisa menjawab dengan mutlak, hanya ada prediksi angka-angka statistika. Namun, niscaya setiap aktor dituntut berjuang bermain peran pada lininya seoptimal mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun