Mohon tunggu...
Ammar Ginanjar
Ammar Ginanjar Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Lingkungan sekitar

an ordinary person living in an extraordinary world

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Korban...Karbon...Korban...Karbon...Karbon Itu Apa?

1 September 2024   09:10 Diperbarui: 1 September 2024   10:31 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam berbagai pemberitaan saat ini baik isu pembangunan dan juga acara internasional, istilah 'karbon' sangat sering digaungkan. Dari sini pulalah muncul beragam inisiatif di berbagai sektor seperti REDD+,transisi energi, green/blue economy, FOLU Net Sink d.s.b. Bagi orang yang hidup diera 90-an, saat mendengar karbon yang terbayang adalah kertas karbon untuk mencetak nota atau duplikasi dokumen pada mesin ketik. Tapi apa sebenarnya karbon yang dimaksud? kenapa karbon menjadi standar baru? kenapa karbon dapat diperdagangkan? apa hubungannya dengan hutan dan lingkungan?

Apa itu karbon?

Karbon sendiri merupakan unsur kimia alam yang cukup banyak terdapat dimuka bumi. Karbon di alam memiliki banyak bentuk dari CO2 yang merupakan hasil pembakaran, hidro-karbon yang juga banyak terdapat dalam beragam sumber energi baik gas, padat atau cair, dsb. Sebagaimana unsur yang ada dialam, karbon juga memiliki siklus hidupnya sendiri seperti halnya air. Berdasarkan lokasinya/keberadaannya timbunan karbon (carbon pool)  terdapat didalam bumi, dipermukaan bumi dan juga diudara yang mana proses perpindahannya berjalan terus menerus. Pada permukaan bumi karbon tersebar dibanyak tempat baik dalam bentuk pohon, tanah, air area pertanian,gambut,mangrove dsb. Simpanan karbon di daratan biasa disebut dengan green carbon, sedangkan untuk karbon yang berada diperairan umumnya disebut sebagai blue carbon. Simpanan karbon dalam perut bumi merupakan salah satu simpanan karbon yang besar yang ada dibumi. Simpanan karbon ini umumya kita kenal dengan istilah bahan bakar fosil dimana didalamnya meliputi, minyak bumi, gas dan batubara. Sedangkan simpanan karbon di atmosfere umumnya merupakan karbon hasil pembakaran atau metabolisme makhluk hidup dalam bentuk gas CO2,CO dan CH4(metana) dll yang disebut gas rumah kaca.

www.globe.gov

Pada siklus yang normal, setiap emisi karbon yang berasal dari metabolisme makhuk hidup, pembusukan dan juga hasil pembakaran akan ditransportasikan dari darat/permukaan bumi menuju udara atau atmosfer. Keberadaan gas rumah kaca memiliki fungsi untuk menahan sebagian gelombang inframerah dari matahari sehingga dapat berdampak pada hangatnya suhu di bumi. Untuk menjaga kestabilan komposisi karbon di udara, secara alami tumbuhan yang ada dipermukaan bumi akan menyerap CO2 sebagai bahan baku fotosintesis dan disimpan dalam seluruh bagian tubuh mereka baik, batang, akar, ranting daun ,buah ataupun umbi serta sebagian diendapkan kedalam tanah.

Revolusi Industri dan Peningkatan Gas Rumah Kaca di Atmosfer.

Revolusi industri dapat disebut sebagai titik awal masuknya era modern, dimana perubahan dan perkembangan teknologi berkembang dengan pesat. Revolusi industri I ditandai dengan ditemukannya mesin uap yang merupakan mesin bakar pertama.Penerapan teknologi dalam industri mengubah banyak hal terutama peningkatan produktivitas dan efisiensi dari penurunan kebutuhan tenaga kerja manusia. Disisi lain revolusi industri juga menuntut peningkatan kebutuhan bahan baku, bahan bakar atau sumber energi  dan juga lahan yang terus meningkat.Pada titik inilah kebutuhan akan batubara dan kayu meningkat dan berdampak pada masifnya pertambangan dan hilangnya hutan alam.

Masih rendahnya efisiensi mesin berdampak pada peningkatan dan penumpukan emisi karbon hasil pembakaran ke udara. Hal ini diperparah dengan semakin menurunnya kemampuan permukaan bumi untuk menyerap dan menyimpan emisi karbon akibat berkurangnya tutupan hutan. Hal ini menggambarkan bahwa akibat dari revolusi industri adalah rusaknya  keseimbangan siklus karbon itu sendiri,dimana simpanan karbon yang ada didalam bumi dan permukaan bumi dikonversi/dipanen secara besar-besaran menjadi emisi karbon dan yang disisi lain juga menurunkan kemampuan penyerapan/penyimpanan emisi karbon tersebut. Rusaknya siklus karbon ini menyebabkan penumpukan emisi karbon/gas rumah kaca di atmosfer sehingga inframerah dari matahari tertahan lebih banyak dan berdampak pada meningkatkan suhu permukaan bumi secara global. Fenomena inilah yang disebut pemanasan global atau perubahan iklim.

Sejak munculnya revolusi industri 1.0 hingga revolusi industri 4.0 yang saat ini kita alami, telah banyak perubahan yang terjadi terutama sudut pandang industri dan lingkungan . Pada awalnya lingkungan atau alam hanya dianggap sebagai modal atau aset industri semata, sehingga setiap pesan lingkungan selalu diasosiasikan pada narasi menghambat pembangunan. Saat ini telah banyak industri yang sadar akan peran penting lingkungan bukan hanya bagi manusia tetapi juga keberlanjutan usaha itu sendiri. Dampak perubahan iklim telah memposisikan kita semua pada ketidak-pastian dengan banyakan anomali yang terjadi baik cuaca ekstrim, penyakit, gagal panen komoditas,terganggunya rantai pasok dsb. Maka saat ini perusahaan pun mulai berlomba untuk mem-branding diri sebagai perusahaan paling green, low carbon atau paling sustain di bidang lingkungan.

Pemanasan Global Sebuah Siklus Alam atau Bencana alam?

Diera terbuka saat ini, masih ditemukan beberapa pendapat mengenai pemanasan global itu sendiri. Sebagian kelompok mengatakan bahwa pemanasan global adalah siklus alam yang pernah terjadi saat jaman es terjadi, banjir besar dsb. Ada pula yang menganggap bahwa pemanasan global merupakan bencana alam yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia dan perlu kita tangani dengan serius.Walaupun dari kedua pihak terlihat berseberangan tetapi pada dasarnya keduanya memiliki kesamaan yaitu 1). mengakui bahwa pemanasan global itu ada 2). bahwa terjadinya pemanasan global ataupun siklus 500o tahun tersebut akan selalu didampingi dengan bencana besar bahkan kepunahan. 

www.semanticscholar.org
www.semanticscholar.org

Penelitian tentang karbon dan dampak pada perubahan iklim ini telah dilakukan  oleh ilmuwan  Hans Oeschger dan timnya di Universitas Bern, Swiss, pada tahun 1960-an dan 1970-an. Oeschger dan timnya melakukan pengukuran dengan cara melakukan pengeboran es di Greenland. Dengan metode radiokarbon, para ilmuwan tersebut melakukan perhitungan konsentrasi gas rumah kaca yang terperangkap dalam es. Setiap lapisan kedalaman es yang dibor menunjukan periode terjadinya es tersebut demikian pula dengan setiap hal yang terperangkap didalamnya. Dengan demikian perbandingan konsentrasi CO2 dapat ditelusuri ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Hasil penelitian Oeschger dan timnya menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 atmosfer selama zaman glasial hampir 50% lebih rendah daripada saat ini. Dan dari pola konsentrasi CO2 tersebut ia memperlihatkan bahwa konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer adalah hasil dari pembakaran bahan bakar fosil dan ini juga selaras dengan pola peningkatan suhu rata-rata yang terjadi dipermukaan bumi.

Karbon Sebuah Standard Baru di Era Keberlanjutan

Isu emisi karbon mulai menjadi sorotan dunia paska 1997 dengan adanya protokol Kyoto, dimana pada protokol atau kesepakatan international tersebut tidak hanya berisi tentang himbauan penurunan emisi gas rumah kaca tetapi juga mekanisme perdagangan emisi atau emission trading. Sebagai unsur dominan dalam gas rumah kaca maka karbon dijadikan sebagai tolak ukur emisi udara yang terjadi. Adanya emission trading ini bertujuan untuk mendorong terjadinya kesetaraan atau keadilan bagi semua pihak, dimana pihak peng-emisi harus bertanggung jawab dengan membayarkan sejumlah dana bagi pihak yang telah berhasil menurunkan emisi dibawah ambang batas atau kepada pihak yang memiliki kemampuan penyerapan emisi baik secara alami (carbon sequestration) dengan pengelolaan hutan lestari atau penerapan teknologi carbon capture dan storage (CCS). Dengan demikian setiap perusahaan atau negara akan berupaya menurunkan jejak karbon (carbon footprint) dari setiap aktivitsas yang dilakukan sebagai bentuk dan bukti nyata komitmen terhadap lingkungan. Secara normatif,karbon tidak hanya menjadi satuan perdagangan tetapi juga representasi tanggung jawab terhadap lingkungan.

Peran dan Peluang Indonesia dalam Jasa Penyerapan Emisi Karbon

Sebagai salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas dan juga ekosistem mangrove dan gambut penting dalam penyerapan emisi karbon, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar untuk bermain dikancah global. Melalui Pepres no 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi salah satu tonggak awal tumbuhnya bisnis berbasis lingkungan ini. Dampak kebijakan tersebut terlihat dengan mulai bermunculannya perusahaan -perusahaan rintisan yang bermain dalam isu lingkungan, baik pengembangan aplikasi pengukur jejak karbon, jasa restorasi hingga penyedia tenaga teknis hingga pengembangan teknologi carbon capture and storage (CCS). Dalam peraturan menteri LHK sebagai pengampu isu ini, juga telah dijabarkan bahwa dalam perdagangan jasa penyerapan karbon ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak swasta juga tetapi juga pihak desa dengan perhutanan sosialnya. Hal ini patut diapresiasi karena dengan kebijakan tersebut diharapkan penguasaaan lahan sebagaimana yang telah terjadi dimasa sebelumnya tidak terjadi kembali dimasa saat ini dan mendatang.

Skema insentif karbon dengan pendekatan yurisdiksi juga telah diimplentasikan di Kalimantan Timur  sejak 2020 melalui program FCPF Carbon Fund  yang didanai oleh World Bank. Pada progam ini Kalimantan Timur diharapkan dapat menurunkan laju deforestasi tahunan guna menjaga hutan sebagai penyedia jasa penyerapan karbon alami. Dari apa yang telah dilakukan Kalimantan Timur telah menjadi bukti nyata bahwa upaya penurunan emisi tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pemerataan pembangunan. Dampak dari program ini bahkan dapat dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang mana merupakan super hero bagi masyarakat global. Dimasa mendatang diharapkan desa bukan hanya sebagai 'penjaga hutan' semata tetapi juga sebagai pusat dari pengembangan ilmu alam dan lingkungan, dimana kesenjangan antara sains dan modal alam yang mereka miliki sudah semakin tipis. Dimana kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan tidak hanya berhasil dilestarikan, tetapi juga dikembangkan dan relevan dengan sains terkini.

Perdagangan Jasa Penyerapan Karbon Hanyalah  Sebuah Awal

Ya, perdagangan jasa penyerapan karbon hanyalah sebuah awal dari pengembangan inisiatif lingkungan yang lain. Penyerapan emisi atau pemurnian udara merupakan salah satu dari jasa ekosistem atau lingkungan yang dapat disediakan oleh hutan. Tetapi hutan masih memiliki jutaan solusi bagi perbaikan lingkungan baik kesehatan, pangan, tata air maupun keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan salah satu modal terbesar lain yang dimiliki Indonesia.Selama ini keanekaragaman hayati telah banyak memberikan manfaat bagi kita tanpa kita sadari. Sejumlah besar manfaat non karbon yang diberikan hutan ini disebut dengan istilah  beyond carbon.

Keanekaragaman hayati bagi sebagian pihak dipahami sebagai penghambat investasi dan penghambat pembangunan. Hal ini karena isu keanekaragaman hayati kadang menghambat pihak tertentu untuk mengelola ataupun memperoleh perizinan lahan. Keaneragaman hayati dianggap tidak memiliki nilai ekonomi sehingga kadang dianggap sebelah mata. Dalam kenyataana keanekaragaman hayati merupakan salah satu fondasi bagi berkembangnya teknologi seperti pertanian,farmasi, medis, biokimia, bioteknologi dan masih banyak lagi. Manfaat ekonomi dari keanekaragaman hayati belum dapat banyak dirasakan oleh bangsa Indonesia,karena tidak adanya kepemilikan aset intelektual atas pengembangan dan penelitian aset keanekaragaman hayati itu sendisi.

Hutan, sumber daya alam, mineral dan keanekaraman hayati merupakan potensi yang dianugerahkan  dan diamanahkan Tuhan pada bangsa Indonesia. Pada masa lalu bangsa Indonesia dikenal sebagai pemasok bahan mentah kenegara-negara lain karena keterbatasan SDM dan aset intelektual yang dimiliki. Perdagangan karbon adalah sebuah langkah awal dan masih perlu kita dukung dan sukseskan untuk membuka peluang lain.Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia bersama membentuk generasi penerus kita untuk mampu menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban berbasis lingkungan. Dimana kita tidak hanya memiliki "Laboratorium" terbesar didunia, tetapi juga ilmuwan dan masyarakat yang menjadikan pengetahuan lingkungan bukan sebagai ilmu tetapi bahkan menjadi "kearifan lokal" yang baru yang kita perbincangkan dimana saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun