Hubungan bukan semata soal perasaan. Hubungan adalah perpaduan antara seni komunikasi dan juga strategi, seperti sebuah kontrak bisnis yang membutuhkan negosiasi matang serta pendekatan rasional agar tetap harmonis.
Namun, seringnya kita lupa bahwa komunikasi dua arah adalah fondasi yang menentukan kualitas relasi. Tanpa terjadinya dialog yang setara, kemungkinan besar suatu hubungan akan berubah menjadi konflik.
Pada saat kita memikirkan negosiasi, maka gambaran yang muncul biasanya adalah meja rapat, angka-angka, dan aktivitas tawar-menawar. Tapi, tahukah Kamu kalau negosiasi itu sebenarnya adalah inti dari komunikasi sehari-hari.
William Ury, seorang ahli negosiasi dan penulis buku Getting to Yes, pernah berkata, "The biggest obstacle in negotiation is not the other person, it's our own reaction." (Hambatan terbesar dalam negosiasi bukanlah orang lain, melainkan reaksi diri kita sendiri).
Pernyataan tersebut terlihat sederhana, namun sebenarnya cukup relevan dengan dinamika emosional di dalam sebuah hubungan. Kemampuan mengelola reaksi adalah kunci untuk memahami pasangan kita.
Lantas bagaimana jika kita mulai memandang hubungan sebagai suatu proses negosiasi terus-menerus,dengan kedua belah pihak sama-sama menjadi pendengar aktif?
Komitmen dan Empati
Dalam sebuah hubungan, komitmen bukanlah sekadar janji yang diucapkan, melainkan tindakan nyata yang berulang setiap hari. Ada sebuah studi dari Journal of Social and Personal Relationships yang menunjukkan bahwa pasangan dengan tingkat empati tinggi cenderung lebih mampu menyelesaikan konflik tanpa merusak hubungan.
Hal ini membuktikan bahwa negosiasi emosional yang sukses membutuhkan empati sebagai inti. Karena dengan empati kita dapat memahami kebutuhan pasangan, bukan sekadar mendengarkan permintaannya saja.
Namun, empati bukan berarti mengorbankan diri tanpa batas. Di sinilah konsep win-win solution diperlukan. Apabila salah satu pihak terus-menerus mengalah, maka hubungan akan menjadi tidak seimbang. Layaknya kontrak bisnis yang sehat, maka negosiasi emosional juga harus memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.
Sebagai contoh, jika Kamu merasa waktu berkualitas bersama pasangan dirasa kurang atau terlalu sedikit, maka negosiasikanlah jadwal dengan cara yang adil. Bicarakan hal ini bukan semata tentang siapa yang benar atau salah, tetapi bagaimana supaya kebutuhan untuk menghabiskan waktu bersama dapat terpenuhi.
Negosiasi emosional semacam ini tidak akan berhasil tanpa adanya keterampilan untuk mendengar. Sayangnya, masih banyak dari kita yang mendengar untuk merespons, bukan untuk memahami.
Hal inilah yang seringkali menjadi akar masalah terjadinya kesalahpahaman. Pasangan yang melatih keterampilan mendengar aktif memiliki tingkat kepuasan hubungan yang lebih tinggi, begitu kira-kira menurut salah satu penelian.
Mendengarkan aktif bukan hanya soal diam dan membiarkan pasangan kita berbicara. Tapi ini adalah tentang memberikan perhatian penuh, mengulang poin penting yang disampaikan, serta memberi tanggapan yang relevan.
Contohnya ketika pasangan kita mengungkapkan kekhawatirannya mengenai situasi keuangan, alih-alih langsung memberi solusi, tapi tanyakan dulu secara lebih mendalam, "Sayang, Apa yang paling membuatmu khawatir?" atau "Bagaimana caranya agar aku bisa membantu menuntaskan persoalan ini?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah untuk menunjukkan kita benar-benar peduli dan memahami sudut pandangnya.
Mengelola Konflik
Setiap hubungan hampir pasti mengalami konflik. Namun, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Pendekatan rasional sangatlah penting untuk membantu kita mengelola konflik.
Coba bayangkan konflik seperti sebuah percakapan bisnis yang menegangkan, tapi Kamu tidak menyerang personal, melainkan fokus pada masalah.
Pakar hubungan, John Gottman, mengungkapkan bahwa pasangan yang bertahan lama bukanlah pasangan yang tidak pernah bertengkar samasekali, tetapi pasangan yang meskipun bertengkar mereka tetap mampu mengelola konflik dengan cara yang sehat.
Dan, salah satu strategi efektif mengenai hal ini adalah menggunakan teknik time out. Apa itu? Yakni ketika emosi memuncak, ambilah waktu sejenak untuk merenung dan berpikir jernih sebelum melanjutkan diskusi. Hal ini akan membantu kita mencegah ucapan impulsif yang berpotensi merusak hubungan.
Untuk melihat kembali konteks negosiasi di dalam sebuah hubungan, maka hubungan yang sehat itu ibarat kontrak yang harus terus diperbarui. Di dalam kontrak ini, kita dan pasangan kita memiliki peran, tanggung jawab, dan tujuan bersama yang harus dipahami. Hal ini bukan berarti hubungan menjadi kaku, tapi justru memberikan struktur untuk bertumbuh.
Coba kita buat daftar tujuan bersama pasangan setiap beberapa bulan. Setiap enam bulan misalnya. Disana coba ungkapkan apa yang ingin kita capai sebagai pasangan? Apakah itu akan melibatkan perjalanan bersama, menabung untuk masa depan, atau sekadar menghabiskan waktu berkualitas setiap minggu?
Dengan menetapkan tujuan yang jelas seperti itu, maka hubungan akan lebih terarah.
Ketika hubungan dipandang sebagai kerja sama yang setara, maka setiap masalah bisa menjadi peluang untuk tumbuh bersama. Selayaknya negosiasi yang baik, komunikasi yang efektif dalam sebuah hubungan akan selalu membawa solusi, bukan kebuntuan.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI