Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Industrial Profiling Writer; Planmaker; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Grow Smarter Everyday

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Nelayan vs Pagar Laut, Mengurai Simpul Ketimpangan Sosial di Perairan Tangerang

21 Januari 2025   10:54 Diperbarui: 22 Januari 2025   22:08 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagar laut telah menghambat mata pencaharian para nelayan di kawasan laut Tangerang | Sumber gamba: Kompas.com/Antara Foto/Rivan Awal Lingga

Riuhnya kontroversi tentang pagar laut ilegal di perairan Tangerang belakangan ini tidak hanya menjadi topik perbincangan hangat di media nasional, akan tetapi juga menjadi gambaran nyata masih adanya ketimpangan sosial di masyarakat kita.

Di satu sisi, ada pihak-pihak yang berlomba mengeksploitasi ruang laut demi kepentingan ekonomi, bahkan sampai menghalalkan segala cara. Sementara di sisi lain, nelayan lokal yang menggantungkan hidup dari laut harus berjuang menghadapi dampak atas tindakan yang sama sekali tidak mereka lakukan.

Pemasangan pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer ini, yang konon perihal izinnya masih penuh tanda tanya, tentu menimbulkan banyak sekali pertanyaan. Apakah negara kita ini benar-benar masih memiliki kepedulian pada kesejahteraan nelayan? Atau justru membiarkan ketimpangan tersebut semakin melebar?

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Perancis Jean Jacques Rousseau, "Man is born free, and everywhere he is in chains." (Manusia lahir bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu.) Dalam hal ini, belenggu tersebut adalah pagar laut. Sebuah simbol eksploitasi ruang publik yang menjadi alat pembatas akses nelayan terhadap sumber daya laut yang seharusnya menjadi hak mereka. 

Laut yang Dibatasi

Bagi para nelayan di Tangerang, laut lebih dari sekadar ruang kerja. Laut adalah sumber kehidupan mereka, tempat untuk mencari nafkah bagi keluarga dan melestarikan tradisi keluarga turun-temurun.

Namun, seiring kehadiran pagar laut ilegal ini maka hal itu telah merampas sebagian besar akses mereka ke wilayah perairan yang kaya ikan. Batas-batas ruang laut diubah demi kepentingan pribadi atau bisnis para konglomerat tak tahu adat. Alhasil, nelayan lokal pun terpaksa kehilangan hak mereka yang paling mendasar.

Gegara hal itu, tidak sedikit dari para nelayan ini yang mesti menempuh jarak lebih jauh untuk mencari ikan. Mau tidak mau hal itu akan menambah biaya operasional dan waktu kerja mereka.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa dampak dari pagar laut ini bukan hanya pada ekonomi nelayan, tetapi juga pada ekosistem laut itu sendiri. Ruang perairan yang semestinya menjadi tempat berkembang biaknya biota laut kini terganggu oleh pagar-pagar tak bertuan karena para otak utama penanam pagar tersebut seolah bersembunyi dibalik ketiaknya.

Lebih ironisnya lagi, pemerintah daerah setempat ramai-ramai cuci tangan dengan dalih tidak tahu. Padahal, bukan tidak mungkin uang perizinan itu sudah masuk ke kantong pribadinya. Hal ini menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi sering kali mendahului kebutuhan ekologis dan sosial.

Kasus pagar laut ini adalah potret ketimpangan sosial dalam bentuknya yang paling kentara. Di satu sisi, ada pihak-pihak dengan modal besar yang mampu memengaruhi kebijakan serta mengeksploitasi ruang publik. Tapi di sisi yang lain, ada masyarakat nelayan yang tidak memiliki kekuatan politik maupun ekonomi untuk melawan.

Ada lebih dari 70% nelayan kecil di Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang rentan, menurut analisis data dari LIPI. Dan, kasus di Tangerang ini hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa mereka sering menjadi pihak yang paling dan seringkali dirugikan.

Langkah tegas dari Presiden Prabowo Subianto yang memerintahkan pembongkaran pagar laut ilegal ini mungkin sedikit menjadi angin segar sekaligus pembawa harapan bagi para nelayan. Masyarakat seperti mendapatkan pesan kuat bahwasanya hukum harus ditegakkan dan hak-hak masyarakat mesti dilindungi.

Samar-samar Dampak Lingkungan

Pemasangan pagar laut pada dasarnya tidak hanya mencerminkan ketimpangan sosial, namun juga menjadi ancaman serius bagi ekosistem lautan. Publik bisa memperkirakan bahwasanya pagar laut tersebut hanyalah langkah awal dari proyek reklamasi untuk menguruk lautan dan menjadikannya daratan baru.

Padahal, proyek reklamasi bukannya tanpa risiko dan dampak lingkungan. Penurunan populasi ikan, kerusakan terumbu karang, dan polusi akibat aktivitas konstruksi adalah beberapa dampak yang seringkali gagal disadari.

Sebuah studi di dalam jurnal Marine Ecology Progress Series menyebutkan bahwa aktivitas manusia seperti reklamasi dan pemasangan infrastruktur di laut dapat menyebabkan penurunan biodiversitas hingga 30% dalam waktu kurang dari satu dekade.

Penting untuk kita ingat bahwa lautan adalah milik bersama. Dalam prinsip hukum internasional, laut tidak hanya dianggap sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai aset ekologi dan sosial yang harus dikelola secara adil dan bertanggung jawab. 

Langkah pembongkaran pagar laut ilegal di Tangerang seharusnya bisa menjadi awal dari reformasi besar pengelolaan ruang laut di Indonesia agar lebih adil bagi semua.

Keterlibatan aktif masyarakat, nelayan, dan organisasi lingkungan dalam proses pengambilan keputusan adalah kunci untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan semua pihak. Kolaborasi ini juga dapat menjadi model untuk mengatasi kasus serupa di daerah lain.

Belajar dari kasus pagar laut di Tangerang ini harusnya hal itu mengingatkan kita agar lebih bijak dalam mengelola ruang publik dan sumber daya alam. Ketimpangan sosial yang terjadi tidak hanya merugikan kelompok tertentu, tetapi juga mengancam keseimbangan ekosistem yang menjadi fondasi kehidupan kita.

Mahatma Gandhi pernah berkata, "Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed." (Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan setiap orang.)

Laut merupakan sumber kehidupan, bukannya alat eksploitasi. Oleh karena itu, mari kita jadikan ini sebagai momen untuk merenung dan bertindak, serta memastikan bahwa ruang laut akan tetap menjadi tempat yang adil dan berkelanjutan bagi semua.

Maturnuwun,

Growthmedia

NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun