Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bagaimana Dampak Penutupan TikTok terhadap Ekosistem Digital dan Kecerdasan Kolektif?

18 Januari 2025   11:16 Diperbarui: 18 Januari 2025   11:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kreator konten yang sedang bekerja di depan kamera | Ilustrasi gambar: freepik.com / wayhomestudio

Ketika TikTok mengumumkan penutupan operasinya di Amerika Serikat mulai tanggal 19 Januari 2025 besok, dunia digital seperti berguncang hebat. Negara adidaya yang begitu mendengung-dengungkan kebebasan seakan mencoreng mukanya sendiri dengan "melarang" kebebasan berekspresi warganya melalui platform populer tersebut.

Keputusan ini tidak hanya menjadi pukulan berat bagi jutaan kreator konten dan pengguna aktif TikTok di AS, akan tetapi juga membuka diskusi lebih jauh tentang pengaruh platform tersebut terhadap konsumsi konten dan kecerdasan masyarakat secara kolektif.

Di dalam sebuah era di mana algoritma digital menjadi arsitek utama dari apa yang kita lihat, dengar, rasakan, dan pelajari, dampak penutupan TikTok sepertinya jauh melampaui sekadar hilangnya hiburan. Sebagai platform yang mendominasi budaya pop global, TikTok telah mengubah cara orang memproses informasi, mulai dari hiburan ringan sampai edukasi yang singkat namun padat.

Namun, seberapa besar ketergantungan ini membentuk pola pikir masyarakat? Dan apakah Indonesia juga berada dalam ancaman serupa jika isu ini merambah ke wilayah lokal?

 

Era TikTok dan Algoritma Kecerdasan Kolektif

Beyond Entertainment. TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan, dan merupakan ekosistem algoritma yang bisa mempelajari kebiasaan kita. Melalui durasi video singkat dan interaktivitas tinggi, platform ini menciptakan ruang yang mampu mengintegrasikan hiburan dan edukasi secara bersamaan.

Misal, konten edukasi seperti tips produktivitas, penjelasan ilmiah, hingga tutorial seni mendapat tempat yang sama dengan tren menari viral. Sayangnya, algoritma yang sama juga dapat membentuk "gelembung" informasi yang sempit sehingga membuat pengguna hanya terpapar pada jenis-jenis konten tertentu saja.

Dalam konteks ini, kecerdasan kolektif masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh seberapa beragam apa informasi yang mereka konsumsi.

Pew Research Center (2024) menunjukkan bahwa sekitar 43% pengguna TikTok di AS mengandalkan aplikasi ini sebagai sumber utama berita dan informasi. Yang artinya, seiring penutupan yang dilakukan oleh TikTok maka akan terjadi kekosongan informasi yang mungkin tidak mudah diisi oleh platform lain. Dampak ini berpotensi menciptakan disrupsi besar, baik dalam cara masyarakat mencari informasi maupun dalam keberagaman perspektif yang mereka miliki.

Penutupan TikTok bisa saja menjadi mimpi buruk bagi para kreator konten yang menggantungkan penghasilan dan eksistensi mereka pada platform ini.

Di Amerika Serikat, data Statista menunjukkan bahwa TikTok memiliki lebih dari 113 juta pengguna aktif bulanan, yang mana dari jumlah tersebut, ribuan kreator menjadikan platform ini sebagai sumber penghasilan utama melalui endorsement, iklan, dan program-program kreator.

Dengan menghilangnya platform tersebut, maka mereka akan dipaksa untuk bermigrasi ke ekosistem lain yang bisa jadi tidak memiliki daya jangkau dan kemampuan spesifik lainnya yang serupa.

Bagi Indonesia sendiri yang termasuk paling tinggi penggandrung TikTok-nya, potensi penutupan TikTok  akan dapat memengaruhi ribuan kreator lokal yang telah membangun karier mereka di platform tersebut selama ini.

Selain itu, TikTok telah menjadi medium penting bagi pelaku usaha kecil, influencer, bahkan masyarakat pinggiran untuk menjangkau pasar yang lebih luas melalui video pendek kreatif mereka. Jikalau penutupan serupa terjadi di Indonesia maka hal itu tentunya akan memaksa mereka untuk mencari alternatif lain yang tidak hanya membutuhkan adaptasi teknis tetapi juga strategi pemasaran baru.

 

Kreator konten yang sedang bekerja di depan kamera | Ilustrasi gambar: freepik.com / wayhomestudio
Kreator konten yang sedang bekerja di depan kamera | Ilustrasi gambar: freepik.com / wayhomestudio

Urgensi Keberadaan Platform Lokal Sejenis

Penutupan TikTok di Amerika Serikat seharusnya menjadi momentum refleksi bagi Indonesia. Mengapa kita tidak mulai memikirkan pengembangan platform lokal yang memiliki daya saing global? Saya kira Komdigi paham betul hal ini tanpa harus digurui.

Selama ini kita sepertinya terlalu bergantung pada platform asing yang mendominasi ekosistem digital. TikTok, Facebook, Instagram, Youtube, Spotify, dan lain-lain membuat kita terikat. Ketika ketergantungan ini tiba-tiba terganggu, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh ekosistem, mulai dari kreator konten hingga konsumen.

Dengan mengembangkan platform lokal, hal itu tidak hanya menciptakan peluang baru bagi talenta digital Indonesia, tetapi juga akan memperkuat kedaulatan digital negara. Apabila negara semaju Amerika saja begitu mengkhawatirkan keamanan negaranya terhadap platform TikTok, lantas mengapa Indonesia terlihat tenang-tenang saja?

Padahal, dengan inovasi teknologi yang terus berkembang, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk menciptakan aplikasi yang mampu bersaing di kancah global, sekaligus melindungi data pengguna dari ancaman privasi yang kerap menjadi isu utama di platform asing.

Penutupan TikTok ini juga seharusnya menjadi pengingat bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola konsumsi digital. Karena ketika kita terlalu bergantung pada satu platform maka hal itu tidak hanya membuat kita rentan secara informasi, tetapi juga membatasi kemampuan kita untuk mengeksplorasi perspektif baru.

Buckminster Fuller pernah berkata, "You can never learn less; you can only learn more." ("Anda tidak pernah bisa belajar lebih sedikit; Anda hanya bisa belajar lebih banyak.") Dalam hal ini, masyarakat perlu didorong untuk mencari sumber informasi yang lebih beragam dan tidak terpaku pada kungkungan algoritma semata.

Penting bagi kita untuk memanfaatkan momentum ini dengan memperkuat literasi digital. Karena hanya dengan kemampuan memilah informasi yang lebih baik, maka masyarakat dapat menjadi lebih kritis dan tidak mudah terjebak dalam bias algoritma. Selain itu, mengurangi ketergantungan pada satu platform saja juga akan membuka peluang untuk mengeksplorasi alternatif lain yang mungkin lebih mendukung pengembangan kecerdasan kolektif.

TikTok mungkin hanya sebuah platform yang terlihat remeh dengan konten-konten pendeknya, akan tetapi dengan dampak yang ditinggalkannya tersebut seakan menunjukkan betapa besar peran teknologi dalam membentuk pola pikir dan kecerdasan kita.

Hal ini adalah sebuah peringatan bahwasanya kita tidak boleh menyerahkan masa depan digital kita sepenuhnya pada platform ataupun algoritma asing. Justru sebaliknya, sekaranglah momentum untuk membangun ekosistem digital yang lebih mandiri, inklusif, dan sanggup bersaing di tingkat dunia.

Maturnuwun,

Growthmedia

NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun