Aksi polisi patroli pengawal (patwal) yang mengawal mobil dinas pejabat dengan plat nomor RI 36 yang viral di media sosial baru-baru ini menyulut perdebatan panas di kalangan warganet.
Kabarnya, artis Raffi Ahmad yang juga merupakan utusan khusus presiden menjadi sosok pejabat yang hendak dijemput oleh iring-iringan itu. Tak ayal, reaksi publik pun terpecah. Ada yang mengkritik keras, sementara yang lain membela tindakan tersebut sebagai bagian dari tugas negara.
Namun, di tengah hingar-bingar opini publik tersebut, bagaimanakah seharusnya masyarakat merespons situasi serupa? Apakah reaksi emosional berlebihan merupakan solusi yang tepat? Atau kah ada pendekatan berbasis logika yang mungkin lebih efektif?
Polisi patroli pengawal memang memiliki tugas dan kewenangan tertentu, yang mana salah satunya adalah memberi pengawalan khusus kepada pejabat negara demi kelancaran tugas mereka.
Meski demikian, kewenangan ini bukan tanpa batas. Tindakan yang melibatkan plat nomor istimewa, seperti RI 36, harus tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan menghormati pengguna jalan lainnya.
Saat prinsip ini terabaikan, wajar apabila memantik kritik. Hanya saja, kritik yang dibangun atas dasar emosi kerap kali sering kehilangan arah, hingga berujung pada perdebatan tanpa solusi. Hal ini menggarisbawahi perlunya pendekatan logis yang mampu melihat gambaran besar tanpa terjebak dalam prasangka sepihak.
Reaksi bijaksana tidak hanya menunjukkan kedewasaan publik, tetapi juga membantu membangun ekosistem transportasi yang lebih manusiawi. Jadi, mari kita coba kulik masalah ini untuk mendapatkan perspektif yang lebih utuh.
Hak Istimewa Pejabat
Hak istimewa di jalan raya, seperti penggunaan sirine dan pengawalan polisi, memiliki landasan hukum yang jelas. Dalam konteks negara kita, pengaturan ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Hak ini diberikan demi memastikan kelancaran tugas pejabat negara yang memiliki tanggung jawab strategis. Namun, dalam pelaksanaannya, sering kali muncul persepsi negatif akibat ketidakseimbangan antara kewenangan dan tanggung jawab.
Penggunaan hak istimewa secara arogan sering menimbulkan resistensi di masyarakat. Misalnya, tindakan seperti yang terekam dalam video viral tersebut dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan, atau bahkan kesombongan terutama jika tidak disertai komunikasi yang baik. Dalam situasi seperti ini, masyarakat kerapkali merasa terabaikan, sehingga akhirnya memunculkan reaksi emosional.