Ketika mendengar penyataan "Merdeka atau Mati", hal itu terasa penuh dengan gambaran jiwa patriotisme. Semangat kemerdekaan. Akan tetapi saat pertama kali mendengar istilah "Digitalisasi atau Mati", saya justru merasa hal itu sekadar jargon kosong belaka.
Namun, semakin dalam saya menyelami referensi di bidang bisnis dan teknologi, maka saya semakin menyadari betapa seriusnya peringatan ini. Khususnya bagi para pelaku bisnis.
Di tengah gempuran revolusi digital dan (utamanya) kecerdasan buatan (AI), pilihan ini menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh semua pelaku ekonomi, termasuk di Indonesia. Mengapa digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan? Yuk kita kupas bersama.
Digitalisasi, Pilihan atau Keharusan?
Di dunia yang semakin terkoneksi, teknologi digital dan AI telah menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi. Laporan dari Technological Forecasting and Social Change menyebutkan bahwa ekonomi digital di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tumbuh pesat dengan kisaran nilai mencapai USD 300 miliar pada 2025. Faktanya memang pada saat ini Indonesia telah menjadi salah satu pasar ekonomi digital terbesar di kawasan bahwa dunia.
Hanya saja, tidak semua berupa cerita manis. Di berbagai konferensi dan seminar yang diselenggarakan beberapa instansi, ada satu pertanyaan besar yang senantiasa muncul, yakni apakah kita cukup siap?
Sayangnya, jawabannya seringkali "belum."
Dalam era AI yang mendesak perubahan, digitalisasi menjadi satu-satunya jalan bagi bisnis untuk tetap relevan. Tanpa adaptasi, sebuah bisnis ibarat kapal tanpa layar di tengah badai yang tinggal menunggu waktu untuk tenggelam dan karam.
Saat berbincang dengan beberapa pelaku usaha tradisional, saya mendengar beberapa keluh kesah perihal betapa beratnya mereka menghadapi digitalisasi. Jika kita lihat, banyak toko kelontong kecil harus menyerah karena mereka kalah bersaing dengan platform e-commerce seperti Tokopedia dan Shopee.
AI tidak hanya mengubah cara bisnis beroperasi, melainkan juga bagaimana rantai nilai diatur. Beberapa teman saya yang bekerja di manufaktur bercerita tentang bagaimana AI menggantikan pekerjaan manual mereka dengan efisiensi yang jauh lebih tinggi.
Sebagai contoh, algoritma prediktif membantu perusahaan besar seperti Gojek dalam memahami kebutuhan pelanggan secara real time. Tetapi, apa yang terjadi pada bisnis yang gagal beradaptasi?