kasus pelecehan seksual, sehingga memunculkan perdebatan hangat di kalangan netizen.
Media sosial belakangan dihebohkan oleh sebuah kasus yang cukup unik sekaligus kontroversial. Seorang pria disabilitas (tunadaksa) menjadi tersangka dalamBanyak yang skeptis bahwa pelaku dengan disabilitas semacam itu dapat melakukan tindakan kriminal. Namun, di sisi lain, ada juga yang mempertanyakan, apakah kita terlalu cepat mengaitkan ketidakmampuan fisik dengan ketidakmungkinan moral?
Dalam narasi ini, muncul pertanyaan mendalam mengenai sejauh mana disabilitas dapat menjadi alasan pembebasan dari tuduhan kriminal, atau malah berpotensi menjadi celah untuk kejahatan?
Faktanya, diskusi tentang kriminalitas di kalangan disabilitas, khususnya mereka yang memiliki disabilitas intelektual (intellectual disability, ID), bukanlah hal baru di dunia akademik. Menurut penelitian Salekin et al. (2010), individu dengan ID cenderung lebih rentan terhadap pengaruh negatif lingkungan sosial, yang kadang-kadang dapat mengarah pada perilaku kriminal.
Masalah psikologis seperti gangguan kepribadian antisosial sering menjadi faktor pemicu, memperumit situasi mereka. Fenomena ini tentu menuntut kajian lebih dalam, sebab pendekatan masyarakat terhadap kasus seperti ini tidak hanya memengaruhi keadilan hukum, tetapi juga menyentuh rasa kemanusiaan.
Kriminalitas atau Ketidakadilan Sistem?
Dunia hukum memiliki pandangan beragam mengenai bagaimana menangani pelaku dengan disabilitas. Di Swedia, seperti yang diungkap Svennerlind et al. (2020), asesmen psikiatri forensik seringkali digunakan untuk menentukan apakah seorang pelaku dengan disabilitas intelektual benar-benar memahami konsekuensi tindakannya. Hal ini penting karena tindakan kriminal seringkali lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan.
Namun, di sisi lain, kasus seperti ini juga menimbulkan dilema besar. Apakah perlakuan khusus pada pelaku dengan disabilitas menciptakan standar ganda di mata hukum? Dalam kasus pria tanpa tangan tadi, misalnya, netizen merasa sistem hukum seakan "menuduh sembarangan" sementara bukti yang ada masih dinilai kabur.
Tetapi, penting untuk diingat bahwa hukum tidak semata-mata soal siapa pelakunya, tetapi apakah mereka memiliki kapasitas untuk memahami akibat dari tindakan mereka.
Sebagaimana diungkapkan oleh ahli hukum internasional Benjamin Cardozo, “Justice is not to be taken by storm. She is to be wooed by slow advances.” (Keadilan tidak bisa direbut dengan paksa. Ia harus diraih melalui langkah-langkah perlahan). Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa keadilan memerlukan proses dan keseimbangan, terutama ketika berurusan dengan kelompok rentan seperti penyandang disabilitas.
Kerentanan Psikologis dan Risiko Kriminalitas
Salah satu fakta yang sering diabaikan adalah tingginya prevalensi gangguan psikologis pada individu dengan disabilitas intelektual. Fogden et al. (2016) menunjukkan bahwa komorbiditas seperti gangguan spektrum autisme (ASD) atau ADHD dapat secara signifikan meningkatkan risiko keterlibatan dalam tindakan kriminal. Ketika disabilitas intelektual bertemu dengan lingkungan sosial yang toksik, risiko ini semakin diperbesar.
Kembali ke kasus pria tunadaksa tadi, kita perlu bertanya: apakah lingkungan di sekitarnya turut berkontribusi pada dugaan tindak kriminal tersebut? Atau, mungkinkah dia menjadi korban manipulasi pihak lain?
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan disabilitas intelektual seringkali menjadi korban eksploitasi, baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, dalam kasus ini, penting bagi masyarakat untuk menghindari prasangka dan menuntut transparansi proses hukum.
Pendekatan berbasis bukti, seperti yang disarankan Edberg et al. (2020), adalah kunci untuk mengurangi risiko kriminalitas pada kelompok disabilitas. Program inklusi sosial, akses terhadap pendidikan yang setara, dan rehabilitasi berbasis komunitas dapat menjadi solusi jangka panjang.
Masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan ekosistem yang mendukung, sehingga individu dengan disabilitas dapat hidup secara bermartabat tanpa harus terjebak dalam lingkaran kekerasan atau kriminalitas.
Dalam konteks hukum, pelatihan khusus bagi petugas penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan disabilitas sangatlah diperlukan. Selain itu, penguatan asesmen forensik untuk memastikan keadilan berjalan tanpa melupakan dimensi kemanusiaan adalah langkah yang tidak bisa ditunda lagi.
Kasus pria tunadaksa tadi seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua: bukan hanya tentang siapa yang bersalah, tetapi bagaimana memastikan bahwa keadilan benar-benar tercapai bagi semua pihak.
Menyikapi kriminalitas di kalangan disabilitas memerlukan kebijaksanaan dan empati. Sebagai masyarakat, kita harus mampu berdiri di antara kebenaran dan kemanusiaan, memastikan tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan kita menuju keadilan.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB: Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H