Kembali ke kasus pria tunadaksa tadi, kita perlu bertanya: apakah lingkungan di sekitarnya turut berkontribusi pada dugaan tindak kriminal tersebut? Atau, mungkinkah dia menjadi korban manipulasi pihak lain?
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan disabilitas intelektual seringkali menjadi korban eksploitasi, baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, dalam kasus ini, penting bagi masyarakat untuk menghindari prasangka dan menuntut transparansi proses hukum.
Pendekatan berbasis bukti, seperti yang disarankan Edberg et al. (2020), adalah kunci untuk mengurangi risiko kriminalitas pada kelompok disabilitas. Program inklusi sosial, akses terhadap pendidikan yang setara, dan rehabilitasi berbasis komunitas dapat menjadi solusi jangka panjang.
Masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan ekosistem yang mendukung, sehingga individu dengan disabilitas dapat hidup secara bermartabat tanpa harus terjebak dalam lingkaran kekerasan atau kriminalitas.
Dalam konteks hukum, pelatihan khusus bagi petugas penegak hukum untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan disabilitas sangatlah diperlukan. Selain itu, penguatan asesmen forensik untuk memastikan keadilan berjalan tanpa melupakan dimensi kemanusiaan adalah langkah yang tidak bisa ditunda lagi.
Kasus pria tunadaksa tadi seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua: bukan hanya tentang siapa yang bersalah, tetapi bagaimana memastikan bahwa keadilan benar-benar tercapai bagi semua pihak.
Menyikapi kriminalitas di kalangan disabilitas memerlukan kebijaksanaan dan empati. Sebagai masyarakat, kita harus mampu berdiri di antara kebenaran dan kemanusiaan, memastikan tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan kita menuju keadilan.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB: Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H