Dalam konteks ini, narasi tentang pedagang kecil yang "diledek" harus menjadi peluang untuk menemukan kembali empati kolektif kita, membangun solidaritas, dan memperjuangkan keadilan yang lebih luas.
Ketika narasi semacam ini diangkat dengan lebih bijak, mungkin kita tak lagi hanya mempersoalkan siapa yang jadi sasaran lelucon. Sebaliknya, kita akan fokus pada bagaimana menciptakan sistem yang benar-benar inklusif, memutus rantai trauma kolektif, dan membangun keadilan sosial yang sesungguhnya.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H