Di balik ramainya hujatan netizen terhadap olokan (bercanda) Gus Miftah kepada seorang penjual es yang viral baru-baru ini, terdapat sebuah fenomena menarik yang lebih besar dari sekadar obrolan di dunia maya. Peristiwa ini mencerminkan dinamika sosial yang sarat makna, yakni mengenai trauma kolektif.
Trauma kolektif, sebagaimana dijelaskan oleh Alexander et al. dalam buku Cultural Trauma and Collective Identity (2004), adalah dampak emosional yang dialami kelompok sosial akibat peristiwa besar yang mengguncang identitas mereka. Dalam konteks ini, komentar Gus Miftah menjadi pemantik percakapan yang mengungkap perasaan terpinggirkan banyak orang kecil, terutama di tengah himpitan ekonomi yang makin berat.
Pada tingkat tertentu, komentar seperti itu tidak lagi hanya tentang siapa yang "melucu" dan siapa yang jadi sasaran. Melainkan tentang narasi yang terbentuk dalam ingatan kolektif masyarakat kita perihal narasi tentang ketimpangan sosial, perjuangan mencari nafkah, hingga rasa frustrasi terhadap sistem yang terasa tidak berpihak.
Kansteiner (2002) dalam Finding Meaning in Memory menegaskan bahwa trauma semacam ini membentuk narasi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya yang memengaruhi cara kita memandang diri dan sesama.
Â
Narasi Kolektif dan Ketimpangan Sosial
Apa yang membuat peristiwa ini viral? Sepertinya sda yang lebih dalam daripada sekadar humor receh. Ada resonansi emosi antara apa yang diucapkan Gus Miftah dengan pengalaman hidup banyak orang yang merasa disedihkan. Ketimpangan sosial yang mencolok, baik secara ekonomi maupun budaya, menjadikan percakapan ini terasa relevan bagi mereka yang telah lama menanggung beban ketidakadilan.
Penelitian dari University of Arizona (n.d.) tentang trauma kolektif menyoroti bahwa kelompok-kelompok yang terpinggirkan sering kali menjadi pusat dari luka sosial ini. Ketika seorang penjual es "diledek," tidak sedikit yang merasa bahwa itu adalah representasi dari penderitaan harian mereka atau keprihatinan terhadap "wong cilik" di sekitar mereka.
Alhasil, viralitas peristiwa tersebut pun menjadi saluran bagi masyarakat untuk mengekspresikan keresahan mereka terhadap ketidakadilan struktural yang sulit disuarakan secara langsung.
Menjawab Trauma Lewat Narasi Baru
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita bisa bergerak dari sekadar reaksi emosional menjadi aksi nyata? Di sinilah pentingnya cultural healing. Dalam buku Cultural Trauma and Collective Identity, Alexander et al. menyoroti bahwa kelompok masyarakat dapat membangun kembali identitas mereka dengan menciptakan makna baru dari peristiwa traumatik. Ini bisa berarti mengubah narasi yang menyudutkan menjadi kisah yang memperkuat solidaritas.
Narasi kolektif yang positif memiliki kekuatan untuk menginspirasi perubahan sosial. Gus Miftah, dengan pengaruhnya, memiliki kesempatan untuk mengubah cerita ini menjadi peluang untuk membangun kesadaran. Ini bukan hanya tentang bagaimana kita memahami ucapan atau tindakan seseorang, tetapi bagaimana kita menggunakannya untuk mengubah sistem yang menciptakan luka itu.
Mahatma Gandhi pernah berkata, "The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others." ("Cara terbaik untuk menemukan diri sendiri adalah dengan mengabdikan diri kepada orang lain.").