Minggu pagi di sebuah warung kopi, perbincangan hangat antara dua warga kota Semarang mencuat. "Lihat Jokowi kemarin? Turun langsung buat kampanye Luthfi-Taj Yasin" ujar yang satu. "Iya, tapi kalau tanpa kekuasaan sama bansos, masih ngaruh enggak, ya?" balas temannya sambil menyesap kopi.
Obrolan imajiner tersebut bagi sebagian orang rasanya cukup relevan, terutama di tengah dinamika politik Pilgub Jawa Tengah yang akan memasuki fase klimaks. Sebagai mantan presiden, Jokowi bukan lagi pemegang kekuasaan formal. Namun, kehadirannya dalam kampanye Luthfi-Taj Yasin menegaskan bahwa pengaruh informal tetap memainkan peran besar.
Berdasarkan penelitian Former Presidents Can Be Effective Opinion Makers Long After Leaving Office dari Oxford Academic, pengaruh mantan presiden tergantung pada retorika publik, personalitas, dan konteks isu. Jokowi dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang sederhana dan kedekatan dengan rakyat.
Namun, apakah ini cukup untuk memenangkan pertarungan tanpa fasilitas kekuasaan seperti bansos? Atau justru masyarakat Jawa Tengah sudah punya kalkulasi politik sendiri?
Pesona Mantan Presiden: Modal atau Beban?
Dalam buku The Leadership Dilemma, disebutkan bahwa mantan pemimpin dapat tetap relevan melalui koneksi personal dan afiliasi partai. Jokowi, meski tanpa kekuasaan formal, adalah tokoh yang masih diingat rakyat sebagai sosok berpengaruh. Namun, efeknya mungkin tidak sekuat ketika ia memegang kendali penuh atas program-program bantuan sosial yang dulu melambungkan popularitasnya.
Di Jawa Tengah, di mana Jokowi punya basis pendukung kuat sejak masa kampanye presiden, kehadirannya seharusnya memberi keuntungan. Namun, tantangannya terletak pada bagaimana Luthfi-Taj Yasin dapat menyerap aura elektabilitas tersebut. Apakah rakyat memandang Jokowi sebagai inspirator pemenangan atau justru menganggapnya sebagai bagian dari politik masa lalu?
Seperti yang pernah diutarakan oleh Franklin D. Roosevelt: "To reach a port, we must set sail -- Sail, not tie at anchor. Sail, not drift." (Untuk mencapai pelabuhan, kita harus berlayar -- bukan berlabuh. Berlayar, bukan terombang-ambing.).
Kehadiran Jokowi di Pilgub ini seperti pelaut yang mencoba mengarahkan kapal di tengah badai politik, namun sejauh mana kapalnya diterima, masih jadi pertanyaan.
Retorika Tanpa "Roti": Efeknya Masih Ada?
Jika retorika adalah senjata utama Jokowi sekarang, maka gaya komunikasinya harus lebih efektif daripada sebelumnya. Di Pilgub Jateng, ia tidak lagi dapat menjanjikan "roti", dalam hal ini bansos atau program-program unggulan pemerintah. Semuanya kini bergantung pada kemampuan membangun narasi.
Namun, apakah retorikanya cukup menggugah?