Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Worklife Blur, Ketika Konsep "Worklife Balance" Gagal di Era "Alway On"

16 November 2024   05:30 Diperbarui: 17 November 2024   06:56 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pekerja yang terlihat stres di depan layar laptop menghadapi tumpukan pekerjaan tiada henti | Ilustrasi gambar: freepik.com/ freepik

"Selalu siap" mungkin terdengar seperti keunggulan, tapi apakah benar demikian? 

Sebuah survei dari Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa 65% pekerja di era digital mengalami kesulitan memisahkan waktu kerja dan pribadi. 

Ini bukan sekadar masalah manajemen waktu, melainkan realita dari budaya always on. Seiring dengan meningkatnya tekanan kerja, teknologi yang mempermudah hidup justru membuat kita terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir.

Di kota besar seperti Jakarta, Tokyo, atau New York, batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan kian kabur. Notifikasi email di malam hari, rapat mendadak pada akhir pekan, dan akses pekerjaan 24/7 menciptakan fenomena baru: worklife blur. Apakah ini harga yang harus kita bayar demi kesuksesan? Atau justru pertanda bahwa kita kehilangan kendali atas kehidupan kita sendiri?

Albert Einstein pernah berkata, "I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots." Dalam konteks modern, kita mungkin bukan "idiot," tapi terlalu sibuk mengejar target hingga melupakan kebutuhan dasar, yakni istirahat dan kebahagiaan.

Worklife Balance: Dulu vs Sekarang

Konsep worklife balance dulunya sederhana, yaitu bekerja sesuai jam kantor, lalu menikmati waktu bersama keluarga atau mengejar hobi. Namun, era digital merombak definisi ini menjadi worklife blending, atau kondisi di mana pekerjaan dan kehidupan pribadi tumpang tindih.

Menurut penelitian The New Nowhere Land, teknologi menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan kerja fleksibel; di sisi lain, ia memperpanjang jam kerja tanpa henti. Seorang manajer di salah satu perusahaan mengatakan, "Saya bisa mengirim email kapan saja, tapi itu juga berarti bos bisa menghubungi saya kapan saja."

Tekanan ekonomi perkotaan memperburuk keadaan. Kompetisi tinggi dan kebutuhan finansial mendorong pekerja mengorbankan waktu pribadi. Namun, efek sampingnya tak bisa diabaikan: kelelahan, penurunan produktivitas, dan bahkan burnout. MDPI mencatat, 40% pekerja yang mengalami worklife blur melaporkan stres kronis.

Pekerjaan yang dulunya menjadi alat untuk hidup kini justru mengambil alih kehidupan. Lantas, bagaimana kita bisa menarik garis batas yang jelas dari dunia semacam ini?

Kota Besar dan Beban Kerja Tanpa Henti

Kota-kota besar dikenal sebagai pusat ambisi, tapi juga sebagai episentrum kerja tanpa henti. Statistik dari Jepang menunjukkan bahwa pekerja rata-rata menghabiskan lebih dari 60 jam per minggu untuk bekerja. Di Jakarta, survei lokal mencatat bahwa 70% karyawan membawa pekerjaan pulang.

Seorang karyawan startup bercerita, "Saya pernah mendapat pesan kerja pukul 11 malam. Awalnya saya pikir itu insiden langka, ternyata itu jadi kebiasaan." Ini adalah contoh nyata dari budaya always on yang tidak sehat.

Sayangnya, kebijakan perusahaan sering kali tidak memihak karyawan. Hanya sedikit organisasi yang memiliki aturan membatasi komunikasi di luar jam kerja. Bandingkan dengan Prancis, di mana karyawan memiliki right to disconnect yang dilindungi hukum, memberikan batas jelas antara pekerjaan dan waktu pribadi.

Bagi individu, strategi seperti menetapkan waktu akhir kerja atau mematikan notifikasi bisa membantu. Namun, tanpa perubahan di tingkat organisasi, solusi ini hanya seperti menambal luka besar dengan perban kecil.

Perubahan: Dari Individu hingga Sistem

Apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi worklife blur? Solusi dimulai dari dua arah, yaitu individu dan organisasi.

Untuk individu:

  • Tetapkan batas waktu kerja harian.
  • Buat jadwal untuk waktu pribadi, seperti olahraga atau meditasi.
  • Kelola ekspektasi atasan dengan komunikasi terbuka tentang batasan waktu kerja.

Untuk organisasi:

  • Terapkan kebijakan cuti wajib.
  • Batasi komunikasi di luar jam kerja kecuali dalam kondisi darurat.
  • Sediakan pelatihan tentang penggunaan teknologi secara sehat.

Beberapa negara bisa menjadi contoh. Di Norwegia, misalnya, karyawan didorong untuk meninggalkan kantor tepat waktu sebagai bagian dari budaya kerja. Langkah kecil seperti ini menunjukkan bahwa produktivitas tidak harus mengorbankan keseimbangan hidup.

Mungkinkah Menemukan Keseimbangan?

Keseimbangan hidup dan kerja di era always on bukanlah mitos, tetapi juga bukan tugas yang mudah. Untuk mencapainya, kita perlu melihat ulang definisi kesuksesan. Apakah kesuksesan adalah tentang jam kerja panjang dan target ambisius? Atau tentang menemukan harmoni antara karier dan kebahagiaan pribadi?

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran penting bahwasanya waktu bersama keluarga, kesehatan mental, dan istirahat adalah aspek yang tak tergantikan. Dalam jangka panjang, kelelahan dan burnout justru merugikan individu maupun organisasi.

Seperti kata Dolly Parton, "Never get so busy making a living that you forget to make a life." Era worklife blur mungkin menjadi tantangan besar, tetapi dengan langkah kolektif, kita bisa menemukan keseimbangan. Apakah kalian siap memulai perjalanan ke arah itu?

Maturnuwun,

Growthmedia

NB: Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun