Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perpisahan dengan Bisokop Tua: Kenangan, Sejarah, dan Tantangan Dunia Sinema di Era Streaming

13 November 2024   15:59 Diperbarui: 13 November 2024   16:03 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisokop Metropole yang kini tinggal kenangan | Sumber gambar: cinemapoetica.com

Fenomena penutupan bioskop-bioskop tua yang pernah menjadi ikon di Indonesia kini menjadi sorotan. Beberapa bioskop legendaris, seperti Metropole di Jakarta, Indra di Yogyakarta, dan beberapa lainnya, semakin sulit bertahan di tengah dominasi platform streaming yang membuat penonton lebih nyaman menonton dari rumah.

Tak hanya menjadi tempat hiburan, bioskop-bioskop tua ini pernah menjadi titik kumpul masyarakat dan saksi bisu bagi ribuan kenangan bersama keluarga, pasangan, atau sahabat.

Tapi, apa yang sebenarnya kita kehilangan ketika bioskop-bioskop ini tutup? Apakah sinema modern mampu menggantikan pengalaman sinematik dan ikatan sosial yang dibangun oleh gedung-gedung bioskop tua ini? Mari kita telusuri kenangan, sejarah, serta tantangan besar yang dihadapi bioskop-bioskop tua di era digital yang terus berubah.

Sejarah Singkat Bioskop di Indonesia

Bioskop di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berawal dari era kolonial. Di masa itu, film-film yang diputar umumnya berasal dari Amerika atau Eropa, dan bioskop menjadi sarana hiburan yang dinikmati kalangan elit.

Namun, seiring berjalannya waktu, bioskop menjadi lebih terjangkau dan berkembang menjadi pusat hiburan masyarakat luas. Pada era 70-an hingga 80-an, bioskop mencapai masa keemasannya. Hampir setiap kota besar memiliki bioskop yang menjadi ikon lokal, mulai dari Metropole di Jakarta hingga Ria di Surabaya.

Bioskop-bioskop ini tak hanya menampilkan film, tetapi juga memengaruhi budaya lokal. Kehadirannya mendekatkan masyarakat pada tren sinema dunia, membentuk komunitas penggemar film, serta menjadi simbol modernitas.

Bioskop seperti Metropole, misalnya, telah menjadi bangunan bersejarah dan landmark budaya yang dihargai oleh warga ibu kota. Namun, dengan berkembangnya teknologi, perlahan-lahan bioskop tradisional ini mulai terpinggirkan oleh cineplex modern dan, akhirnya, oleh platform streaming.

Kenangan Kolektif di Bioskop Tua: Nostalgia yang Hilang

Bagi banyak orang, bioskop bukan hanya sekadar tempat menonton film. Bioskop tua sering kali menjadi tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, atau pasangan. Ada kenangan indah dan nostalgia yang tak tergantikan.

Saat itu, banyak penonton yang mengingat aroma khas bioskop tua, suara proyektor yang berputar, dan nuansa antik yang hanya bisa ditemukan di bioskop-bioskop tua. Pengalaman ini sangat berbeda dari menonton di rumah atau di layar digital yang lebih praktis namun kurang 'berjiwa.'

Bagi sebagian orang, menonton film di bioskop-bioskop tua adalah ritual, sebuah tradisi yang membangun ikatan emosional. "Dulu, Metropole adalah tempat kencan pertama saya" kata seorang pengunjung yang kini sudah berusia 60 tahun. "Saya masih ingat perasaan duduk di kursi kayu, menunggu layar terbuka, dan merasakan suasana yang berbeda. Saya sedih melihat semakin sedikit orang yang datang ke bioskop seperti ini."

Pergeseran Industri Sinema: Dari Layar Lebar ke Layar Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun