Interaksi sosial virtual menggeser persepsi kita terhadap keintiman. Banyak pasangan mengira bahwa mereka dapat "menambal" waktu bersama melalui pesan teks atau panggilan video. Namun, keintiman tidak sekadar dihitung dari jumlah pesan, melainkan kualitas interaksi yang terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang mengandalkan komunikasi digital cenderung mengalami penurunan dalam kepuasan hubungan.
Keberadaan teknologi dalam pernikahan perlu diseimbangkan agar tidak merusak koneksi yang sebenarnya. Saat ketergantungan digital berlebih, percakapan menjadi mekanis dan keintiman berkurang.
Namun, meski teknologi bisa menghalangi, ia sebenarnya juga bisa dimanfaatkan untuk mendukung kedekatan. Menggunakan teknologi dengan lebih bijak dan mengutamakan waktu berkualitas bersama pasangan merupakan langkah penting. Aktivitas sederhana seperti memasak bersama tanpa gangguan gawai, berbincang tanpa layar, atau meluangkan waktu untuk saling mengapresiasi dapat membantu mengembalikan koneksi emosional.
Banyak ahli menyarankan melakukan "puasa digital" atau "digital detox" untuk menjaga keintiman hubungan. Di era di mana notifikasi tidak ada habisnya, membatasi penggunaan gawai bisa memberi ruang bagi pasangan untuk saling terhubung secara nyata.
Lonely marriage bisa menjadi peringatan bagi pasangan yang hidup di era serba terhubung ini. Dimana meskipun interaksi virtual menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas, dampak jangka panjangnya perlu diwaspadai. Penting untuk diingat bahwa keintiman adalah landasan hubungan yang sehat dan hanya dapat terbangun melalui komunikasi tatap muka.
Melalui pemahaman akan bahaya lonely marriage ini, kita dapat membangun kesadaran untuk lebih bijak dalam menggunakan teknologi demi menjaga kedekatan emosional.
Â
***
Lonely marriage bukan hanya cerita kosong di era digital, tetapi realitas yang dialami banyak pasangan. Teknologi memang mempertemukan kita dengan dunia, tetapi tidak jarang membuat kita melupakan orang terdekat.
Memahami dan mengatasi kesenjangan emosional ini bisa menjadi langkah awal untuk menjaga keutuhan hubungan. Jadi, apakah kita siap mengutamakan hubungan yang nyata?
Maturnuwun,