Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lonely Marriage di Era Digital: Bagaimana Interaksi Sosial Virtual Memengaruhi Kedekatan Emosional Pasangan?

30 Oktober 2024   15:12 Diperbarui: 30 Oktober 2024   15:40 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Percakapan teks rentan memicu  mispersepsi antara pasangan | Ilustrasi gambar: freepik.com/cookie_studio

Di dunia yang semakin terhubung ini, pernikahan kerap kali dirundung bayang-bayang kesepian yang tak terlihat. "Lonely marriage," sebuah istilah yang menggambarkan keadaan ketika pasangan tetap hidup bersama secara fisik namun terpisah secara emosional, telah menjadi fenomena yang makin meluas di era digital ini. Dengan maraknya platform virtual yang seakan memfasilitasi hubungan antar manusia, justru muncul pertanyaan besar: apakah teknologi mempererat hubungan kita atau justru menjauhkan?

"Technology is a useful servant but a dangerous master." - Christian Lous Lange

(Teknologi adalah pelayan yang bermanfaat namun tuan yang berbahaya.)

Munculnya penelitian dalam jurnal Computers in Human Behavior mengungkap bahwa terlalu banyak berinteraksi secara virtual, baik melalui media sosial maupun aplikasi pesan instan, dapat memengaruhi kualitas hubungan emosional antara pasangan. Studi tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks pasangan, ketergantungan pada interaksi digital berisiko menimbulkan isolasi emosional yang pada akhirnya menciptakan apa yang disebut sebagai "Lonely Marriage."

 

Memahami Konsep "Lonely Marriage" di Era Modern

Pada dasarnya, pernikahan yang kesepian bukanlah konsep baru. Banyak pernikahan di masa lalu pun dilanda keterasingan emosional, tetapi era digital menyajikan dinamika baru. Saat ini, orang lebih mudah mengakses interaksi sosial online yang ironisnya kemudahan tersebut malah menciptakan hambatan emosional di antara pasangan yang seharusnya bisa saling terhubung lebih dalam.

Penelitian menunjukkan bahwa pasangan yang terlalu asyik dalam dunia virtual kerap kali merasa tidak puas dengan interaksi sehari-hari. Alih-alih berbicara tentang pengalaman sehari-hari, banyak pasangan justru memilih untuk menghabiskan waktu di platform sosial atau dunia maya. Pada akhirnya, mereka mungkin merasa lebih terhubung dengan teman online ketimbang pasangan hidup mereka.

Teknologi mengaburkan batas antara ruang publik dan pribadi. Ketika seseorang lebih banyak waktu berada di dunia maya, waktu untuk bersama pasangan menjadi semakin terbatas.

Penelitian menunjukkan bahwa komunikasi digital memiliki keterbatasan dalam menyampaikan emosi secara efektif. Misalnya, percakapan melalui teks sering kali tidak menyampaikan nada, ekspresi, atau bahasa tubuh yang penting dalam komunikasi langsung. Ketiadaan ini membuat koneksi emosional menjadi dangkal dan rentan terhadap salah paham.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Computers in Human Behavior, ditemukan bahwa ketergantungan pada komunikasi digital bisa mengurangi empati di antara pasangan. Ketika masalah muncul, pasangan cenderung merespons dengan singkat atau bahkan mengabaikannya karena merasa sudah terlalu lelah untuk kembali membuka ruang emosional di akhir hari.

 

Percakapan teks rentan memicu  mispersepsi antara pasangan | Ilustrasi gambar: freepik.com/cookie_studio
Percakapan teks rentan memicu  mispersepsi antara pasangan | Ilustrasi gambar: freepik.com/cookie_studio

Teknologi dan Dampaknya pada Kepuasan Hubungan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun