Masyarakat Indonesia mungkin masih teringat bagaimana PT Sri Rejeki Isman (Sritex) pernah menjadi salah satu raksasa di industri tekstil nasional.
Berdiri kokoh sebagai salah satu pilar ekonomi yang tak tergoyahkan, Sritex bahkan sempat melenggang di pasar internasional. Namun, seiring berjalannya waktu, raksasa ini tumbang.
Kebangkrutan Sritex mengejutkan banyak pihak dan menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama mengenai ketidakmampuannya beradaptasi dengan perubahan ekonomi dunia yang begitu dinamis. Sritex yang dulu bak raksasa, kini hanyalah semenjana dan bukan siapa-siapa lagi.
Sritex, yang sempat dianggap sebagai simbol sukses industri tekstil Indonesia, kini menjadi contoh tragis dari sebuah perusahaan yang gagal beradaptasi. Ketergantungan Sritex pada pasar global ternyata menjadi pedang bermata dua.
Ketika rantai pasokan terganggu akibat pandemi COVID-19, ketergantungan ini justru menjadi bumerang yang merontokkan pondasi bisnis mereka. Sritex, meski tampak kokoh dari luar, ternyata rapuh di dalam.
"It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change." - Charles Darwin
("Bukanlah spesies terkuat atau paling cerdas yang bertahan, melainkan yang paling mampu beradaptasi dengan perubahan.")
Dalam konteks Sritex, kutipan Darwin ini seolah menjadi pengingat pahit bahwa kekuatan dan skala bisnis besar bukan jaminan untuk bertahan jika tak mampu merespons perubahan dengan cepat.
Dengan tren global yang berubah begitu cepat, Sritex tak hanya dihadapkan pada tantangan pasar, tetapi juga persaingan dan tekanan dari ekonomi dunia yang terus bergerak.
Ketergantungan pada Rantai Pasokan Global
Sritex, selama bertahun-tahun, sangat bergantung pada ekspor untuk mempertahankan posisinya di pasar global. Pasar Eropa dan Amerika menjadi tujuan utama produk-produk mereka, khususnya dalam sektor tekstil dan seragam militer.