Pemecahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) oleh Presiden Prabowo menjadi sorotan, khususnya terkait dampaknya bagi kelangsungan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini lahir sebagai jawaban atas tantangan pendidikan masa kini, memberikan lebih banyak ruang bagi siswa untuk belajar mandiri dan kritis. Namun, dengan terbentuknya tiga kementerian baru, pertanyaannya adalah: dapatkah Kurikulum Merdeka bertahan dengan efektivitas yang sama?
Bayangkan kurikulum yang baru diluncurkan, sedang dalam proses adaptasi, tiba-tiba harus dihadapkan dengan tantangan birokrasi yang lebih kompleks. Tiga kementerian berbeda, masing-masing dengan tanggung jawab terpisah (pendidikan dasar dan menengah, kebudayaan, serta riset dan pendidikan tinggi) bisa menjadi sumber kekacauan koordinasi. Resiliensi sistem pendidikan dalam menghadapi perubahan politik seperti ini menjadi krusial, sebagaimana dijelaskan dalam International Journal of Education Development yang menyoroti tantangan pendidikan dalam lanskap politik yang berubah.
Selain itu, pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa fragmentasi kebijakan sering kali mempengaruhi kelancaran pelaksanaan program. Terutama, pada program berskala nasional yang melibatkan banyak pihak, seperti halnya Kurikulum Merdeka ini. Ketika lembaga besar dipisah, maka ada risiko kehilangan kesinambungan visi. Apakah Kurikulum Merdeka akan bernasib serupa? Perubahan struktural sering kali berisiko menghambat progres yang sudah berjalan.
Pertanyaan penting yang kini muncul adalah: Bagaimana pembagian tugas antar kementerian ini akan memengaruhi pelaksanaan Kurikulum Merdeka? Di satu sisi, pemecahan kementerian bisa berarti fokus yang lebih spesifik pada setiap bidang. Namun, ada risiko besar terkait tumpang tindih peran dan minimnya komunikasi antar kementerian baru. Kurikulum yang seharusnya dikelola secara holistik mungkin menjadi terpecah fokus antara kebijakan pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan aspek kebudayaan.
Berdasarkan pengalaman negara lain yang menghadapi restrukturisasi besar-besaran, sering kali muncul ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya. Negara-negara yang pernah mengalami perubahan besar dalam struktur pemerintahan menunjukkan kesenjangan antara visi dan pelaksanaan kebijakan. Misalnya, sistem pendidikan di India pasca reformasi pada 2014 menghadapi hambatan besar karena pemecahan kementerian pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang menyebabkan kebijakan tumpang tindih dan implementasi yang tidak konsisten (Patel, 2020). Apakah Indonesia juga akan mengalami nasib serupa?
Â
Nasib Kurikulum di Tengah Birokrasi yang Meningkat
Dengan lebih banyak kementerian yang terlibat, kita harus mengantisipasi peningkatan birokrasi. Implementasi Kurikulum Merdeka yang baru berjalan kurang dari dua tahun sangat rentan terhadap kebijakan yang tidak sinkron. Menurut sebuah studi dari Journal of Educational Administration (2022), perubahan birokrasi dalam pendidikan dapat memperlambat proses transformasi kurikulum dan menyebabkan kebingungan di tingkat pelaksana, yaitu guru dan kepala sekolah. Kurikulum yang membutuhkan adaptasi cepat, seperti Kurikulum Merdeka, mungkin justru terjebak dalam perdebatan administrasi antar kementerian.
Di Indonesia, di mana transisi birokrasi sering kali memakan waktu, ada kekhawatiran bahwa hal ini akan menyebabkan keterlambatan penerapan di lapangan. Guru, yang menjadi ujung tombak pelaksanaan kurikulum, mungkin akan terjebak dalam kebijakan yang tidak konsisten antara kementerian yang berbeda. Dampaknya akan langsung dirasakan oleh siswa, yang seharusnya menerima manfaat dari kurikulum ini, seperti peningkatan keterampilan berpikir kritis dan kemandirian.
Dalam situasi seperti ini, apakah ada harapan bagi Kurikulum Merdeka untuk tetap sukses? Banyak pihak berharap bahwa dengan pemecahan ini, akan ada lebih banyak perhatian terhadap pendidikan dasar dan menengah. Namun, kita juga perlu realistis dan mengakui tantangan yang ada. Apakah kementerian-kementerian baru ini bisa berkolaborasi dengan baik atau justru berjalan sendiri-sendiri? Jika tidak ada koordinasi yang jelas, kemungkinan besar Kurikulum Merdeka akan berjalan di tempat.
Sebagai salah satu solusi, pemerintah harus memastikan terbentuknya mekanisme koordinasi yang kuat antara kementerian-kementerian baru. Seperti yang diutarakan oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, "Education is, quite simply, peace-building by another name. It is the most effective form of defense spending there is." (Pendidikan, secara sederhana, adalah bentuk pembangunan perdamaian. Ini adalah bentuk pengeluaran pertahanan yang paling efektif.) Pendidikan yang kuat adalah fondasi bagi masyarakat yang lebih damai dan sejahtera. Tanpa kebijakan yang solid, kita mungkin kehilangan kesempatan emas untuk memperkuat sistem pendidikan kita.
Apakah Kurikulum Merdeka Bisa Bertahan?
Di tengah ketidakpastian ini, yang kita butuhkan adalah sistem pendidikan yang tangguh, mampu bertahan menghadapi perubahan. Seperti yang disebutkan dalam studi Resilience of Education Systems in Transitional Political Landscapes, resiliensi pendidikan bergantung pada stabilitas struktural dan kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan politik. Dengan pemecahan kementerian, pemerintah harus memastikan bahwa pelaksanaan Kurikulum Merdeka tidak terganggu dan tetap sesuai dengan visi awalnya.
Dan akhirnya, kita harus mempertanyakan: Apakah perubahan ini akan menjadi titik awal kebangkitan pendidikan Indonesia atau justru menjadi penghalang bagi kemajuan bang kedepan?
Maturnuwun,
Growthmedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H