Seperti yang pernah diungkapkan Oscar Wilde dengan cerdik: "We are all in the gutter, but some of us are looking at the stars." ("Kita semua berada di selokan, tetapi beberapa dari kita menatap bintang-bintang."). Jadi, meskipun kita mungkin terjebak dalam ketakutan akan dominasi teknologi, kita juga harus ingat bahwa kreativitas manusia memiliki daya tarik yang unik.
Akankah Seni dan Sastra Bertahan di Era AI?
Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah seni dan sastra yang dihasilkan manusia akan tetap relevan di era AI. Mungkin jawabannya tidak sesederhana itu. Seni selalu beradaptasi dengan perubahan zaman. Dari lukisan gua prasejarah hingga karya seni kontemporer yang melibatkan teknologi digital, manusia selalu menemukan cara untuk mengekspresikan diri mereka dengan alat-alat yang tersedia. Mungkin AI hanyalah alat baru dalam evolusi kreatif ini.
Di satu sisi, AI dapat membantu seniman dan penulis manusia untuk mencapai tingkat kreativitas yang lebih tinggi. Algoritma dapat menjadi rekan kreatif yang menganalisis tren, menawarkan ide, atau bahkan membuat prototipe karya seni. Di sisi lain, manusia tetap akan menjadi pengendali utama, yang menentukan arah dan makna dari karya tersebut.
Akhirnya, kita kembali pada esensi dari seni dan sastra itu sendiri---yakni kemampuan untuk menyentuh jiwa, untuk menggugah emosi, dan untuk memicu renungan mendalam tentang kehidupan. Sampai saat ini, AI masih jauh dari mampu memahami dimensi emosional tersebut.
Jadi, meskipun AI mungkin menjadi alat yang semakin penting dalam dunia seni dan sastra, kreativitas manusia akan selalu menjadi pusat dari setiap karya yang benar-benar menyentuh.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H