Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Open Desperation, Apa yang Terjadi di Balik Ramai Tagar "Desperate" di LinkedIn?

9 Oktober 2024   11:20 Diperbarui: 14 Oktober 2024   22:24 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterbukaan terhadap kerentanan di LinkedIn adalah pedang bermata dua; bisa menjadi peluang atau ancaman tergantung pada konteks. | Ilustrasi gambar: freepik.com/rawpixel.com

Dalam jurnal The Evolution of Professional Identity in the Age of Social Media, dijelaskan bahwa identitas profesional kita kini terbentuk bukan hanya dari keterampilan teknis, tetapi juga dari hubungan interpersonal yang kita bangun di ruang digital. 

Keterbukaan di LinkedIn sering kali direspons dengan dukungan dari jaringan profesional, menciptakan solidaritas kolektif. | Ilustrasi gambar: freepik.com/rawpixel.com
Keterbukaan di LinkedIn sering kali direspons dengan dukungan dari jaringan profesional, menciptakan solidaritas kolektif. | Ilustrasi gambar: freepik.com/rawpixel.com

Namun, tidak semua kisah open desperation berakhir dengan dukungan. Ada risiko nyata ketika seseorang terlalu banyak mengungkapkan kesulitan pribadi di platform profesional. 

Meskipun keterbukaan dapat menarik simpati, ia juga bisa menjadi bumerang, terutama jika dinilai sebagai kurangnya pengendalian emosi atau ketidakmampuan menghadapi tekanan. Dalam dunia yang sangat kompetitif, menjaga keseimbangan antara menunjukkan kerentanan dan mempertahankan citra profesional tetap penting.

Bagi sebagian orang, open desperation justru menjadi kesempatan untuk membangun personal branding yang lebih kuat. Mereka menunjukkan bahwa mereka adalah individu yang tidak takut menghadapi tantangan, bahkan saat berada di titik terendah. Namun, bagi yang lain, hal ini bisa memperlemah kredibilitas mereka di mata calon pemberi kerja atau rekan kerja.

Mengubah Keterbukaan Menjadi Kesempatan

Keterbukaan di LinkedIn bisa menjadi pedang bermata dua. Bagi mereka yang mampu memanfaatkannya dengan bijak, ini bisa menjadi cara untuk menunjukkan sisi manusiawi dari diri mereka di dunia yang semakin digital. Ketika dilakukan dengan hati-hati, berbagi kesulitan bisa menciptakan narasi yang lebih kompleks tentang siapa kita sebagai profesional. Dalam konteks ini, tren open desperation bisa dilihat sebagai evolusi dari cara kita membangun hubungan profesional di era digital.

Sebagaimana dikatakan oleh penulis besar, Leonard Cohen: "There is a crack in everything, that's how the light gets in." (Ada retakan di segala hal, di sanalah cahaya masuk). Keterbukaan terhadap kerentanan adalah bagian dari proses pertumbuhan, dan di LinkedIn, retakan ini mungkin adalah peluang bagi cahaya baru---dukungan, solusi, atau bahkan karier baru.

Apa yang bisa kita pelajari dari open desperation?

Fenomena open desperation mengajarkan kita pentingnya menyeimbangkan antara menunjukkan kerentanan dan tetap menjaga profesionalisme. Di era di mana identitas digital kita menjadi bagian dari personal branding, keterbukaan ini bisa menjadi alat untuk membangun jaringan yang lebih otentik. Namun, seperti yang kita pelajari dari tren ini, keberanian untuk terbuka harus dibarengi dengan kehati-hatian. 
Keterbukaan terhadap kerentanan di LinkedIn adalah pedang bermata dua; bisa menjadi peluang atau ancaman tergantung pada konteks. | Ilustrasi gambar: freepik.com/rawpixel.com
Keterbukaan terhadap kerentanan di LinkedIn adalah pedang bermata dua; bisa menjadi peluang atau ancaman tergantung pada konteks. | Ilustrasi gambar: freepik.com/rawpixel.com

Tren open desperation di LinkedIn tidak hanya tentang pencarian pekerjaan, tetapi tentang pencarian makna dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian. Pada akhirnya, ini bukan sekadar tanda putus asa, tetapi tanda perubahan budaya yang lebih luas dalam cara kita berkomunikasi dan terhubung secara profesional di era digital.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun