Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Metaverse Pilihan

Revolusi Pendidikan, Apakah Metaverse Akan Menggantikan Sekolah Tradisional?

3 Oktober 2024   05:47 Diperbarui: 3 Oktober 2024   08:36 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggunaan teknologi metaverse dalam pendidikan menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak. | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Metaverse kini menjadi topik yang sering diperbincangkan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Namun, apakah benar metaverse akan menggeser sekolah tradisional? Sebelum kamu membayangkan kelas penuh avatar dengan guru hologram yang mengajari kita matematika sambil melayang-layang di ruang virtual, mari kita bahas bersama, apakah ini benar-benar masa depan pendidikan, atau hanya sekadar tren sementara?

#1. Imersif dan Tanpa Batas: Apakah Itu Semua yang Dibutuhkan Pendidikan?

 

Bayangkan kamu belajar biologi tentang ekosistem laut, bukan dari buku atau presentasi PowerPoint, tapi langsung menjelajahi dasar laut virtual dengan ikan dan karang di sekitar kamu. Di sinilah letak kekuatan metaverse, pengajaran yang imersif dan tanpa batasan geografis. Bukan hanya siswa di sekolah elit di kota besar yang bisa mendapatkan guru terbaik, tapi anak di desa terpencil pun bisa mendapat akses yang sama.

Namun, jangan salah, meski imersif, pendidikan bukan hanya soal pengajaran materi akademik. Ada hal-hal non-akademik seperti keterampilan sosial, empati, dan pengembangan karakter yang berkembang melalui interaksi di dunia nyata. Metaverse mungkin bisa mensimulasikan interaksi, tetapi bisakah ia menanamkan nilai-nilai tersebut?

Mengutip Raph Koster, "Virtual worlds can expand our imagination, but they cannot replace human connection" (Dunia virtual bisa memperluas imajinasi kita, tapi tidak bisa menggantikan koneksi manusia). Kalau kamu berdebat dengan avatar temanmu di metaverse, lantas siapa coba yang akan traktir es teh setelah itu?

#2. Akses Pendidikan untuk Semua: Impian atau Ilusi?

 

Metaverse digadang-gadang bisa mengatasi kesenjangan pendidikan global. | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik
Metaverse digadang-gadang bisa mengatasi kesenjangan pendidikan global. | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Salah satu kelebihan metaverse yang paling menarik adalah potensinya untuk membuat pendidikan dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja. Tanpa harus repot dengan gedung sekolah, buku fisik, atau bahkan seragam, siswa bisa belajar dari kenyamanan rumah mereka. Di negara-negara dengan infrastruktur pendidikan yang buruk, ini adalah peluang emas.

Namun, jangan terburu-buru berfantasi tentang anak-anak di pedalaman yang tiba-tiba bisa mengakses materi pelajaran setara Ivy League. Realitasnya, metaverse membutuhkan perangkat keras canggih dan internet cepat. Di Indonesia saja, akses internet belum merata, apalagi di daerah-daerah terpencil. Apakah mungkin mewujudkan pendidikan berbasis metaverse untuk semua ketika hal paling mendasar seperti listrik pun belum tersedia?

"Technology gives us access to the world's knowledge, but it does not solve the world's inequalities" (Teknologi memberi kita akses ke pengetahuan dunia, tapi tidak menyelesaikan ketidaksetaraan dunia), kata Profesor Jaron Lanier. Cukup ironis ya, ketika akses untuk semua jadi impian yang masih harus menunggu lama untuk terwujud, sementara kita sibuk mendebatkan apakah headset VR bikin pusing.

#3. Efek Jangka Panjang: Dampak Sosial dan Kognitif

 

Penggunaan teknologi metaverse dalam pendidikan menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak. | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik
Penggunaan teknologi metaverse dalam pendidikan menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjang terhadap perkembangan anak. | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Ketika kita bicara tentang metaverse, kita tidak bisa mengabaikan pertanyaan mendasar: apa dampaknya terhadap perkembangan kognitif dan sosial anak-anak? Belajar melalui media digital sudah lama mendapat kritik karena terlalu pasif dan kurang menantang secara intelektual. Sekarang bayangkan versi ekstrimnya: duduk berjam-jam dengan headset VR yang menutupi dunia nyata. Meskipun pengalaman belajar bisa menjadi lebih kaya secara visual, apakah kita mengorbankan keterampilan dunia nyata?

Beberapa studi telah mengungkapkan bahwa penggunaan teknologi canggih dalam pembelajaran bisa menyebabkan isolasi sosial, ketergantungan pada teknologi, dan bahkan penurunan daya pikir kritis. Jelas, ada keuntungan besar di sini, tapi juga risiko yang tidak bisa diabaikan. Menggunakan teknologi tanpa memahami dampaknya sama seperti mencoba membuat kue tanpa resep---hasilnya mungkin mengejutkan, tapi sering kali mengecewakan.

"Technology should enhance human capabilities, not replace them" (Teknologi seharusnya memperkuat kemampuan manusia, bukan menggantikan mereka), ujar Alvin Toffler. Ya, kalau di metaverse kita makin pintar menyelesaikan teka-teki 3D tetapi lupa bagaimana cara berbicara dengan orang tua di meja makan, itu tandanya ada yang mesti diperbaiki.

#4. Evolusi atau Revolusi Pendidikan?

 

Metaverse menawarkan evolusi dalam pendidikan, tapi apakah ini revolusi yang kita butuhkan? | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik
Metaverse menawarkan evolusi dalam pendidikan, tapi apakah ini revolusi yang kita butuhkan? | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Metaverse mungkin terdengar seperti langkah revolusioner dalam dunia pendidikan, tetapi mari kita lihat kenyataannya. Apakah ini benar-benar sebuah revolusi atau hanya evolusi dari metode pembelajaran online yang sudah ada? Zoom, Google Classroom, dan platform lain sudah memberikan kita gambaran tentang pendidikan virtual. Metaverse hanya memperluasnya dengan tambahan elemen 3D, tetapi esensinya tetaplah sama: belajar dari jarak jauh.

Namun, jika kita menginginkan revolusi pendidikan, kita harus bertanya apakah metaverse benar-benar memenuhi kebutuhan generasi masa depan. Apakah kita hanya mengejar teknologi terbaru tanpa benar-benar memikirkan bagaimana hal ini dapat membentuk masa depan pendidikan?

Revolusi sejati adalah ketika kita mampu menggabungkan yang terbaik dari kedua dunia: pengalaman belajar yang interaktif dari metaverse dan interaksi manusia yang tak tergantikan dari sekolah tradisional. "Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire" (Pendidikan bukan sekadar mengisi ember, melainkan menyalakan api), kata William Butler Yeats. Jangan sampai kita terjebak dalam teknologi yang memadamkan api itu ya.

***

Metaverse memang menawarkan berbagai peluang baru dalam pendidikan, tetapi kita harus berhati-hati dalam menyikapinya. Teknologi canggih tidak bisa menjadi satu-satunya solusi untuk masalah yang kompleks.

Pendidikan adalah tentang lebih dari sekadar transmisi pengetahuan---ini tentang membentuk manusia yang utuh, siap menghadapi dunia nyata, bukan hanya dunia virtual. Apakah metaverse akan menggantikan sekolah tradisional? Mungkin, tapi hanya jika kita bisa memastikan bahwa teknologi ini melayani manusia, bukan sebaliknya.

Maturnuwun,

Growthmedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun