Kita hidup di era yang segalanya serba digital. Tidak perlu ribet bawa dompet tebal, cukup satu tap atau scan kode QR, dan semua selesai.
Tapi tunggu dulu, bukankah semua kemudahan ini membuat kita jadi lebih boros?
Seiring dengan berkembangnya financial technology (fintech) dan semakin meluasnya penggunaan dompet digital, kita perlahan-lahan menuju apa yang disebut cashless society.
Gampang, praktis, dan cepat---sama seperti kita menghapus satu tombol saja, hilang semua transaksi! Namun, dengan semua kenyamanan ini, apakah sebenarnya ada harga tersembunyi yang mesti kita bayar?
Saat teknologi keuangan terus berevolusi, pertanyaan tentang pola pengeluaran menjadi semakin relevan. Apakah kita benar-benar mengendalikan uang kita, atau justru fintech yang ternyata mengendalikan kita?
#1. Pola Pengeluaran yang Terasa 'Ringan': Terjebak Ilusi Digital
Pernahkah kamu merasa lebih mudah mengeluarkan uang saat transaksi non-tunai? Wajar saja, karena ketika kamu tidak melihat uang fisik berpindah tangan, ada efek psikologis yang muncul: pengeluaran terasa tidak 'nyata'.
Fenomena ini dijelaskan oleh konsep pain of paying, yang menegaskan bahwa pembayaran digital cenderung mengurangi rasa 'sakit' saat kita mengeluarkan uang dibandingkan dengan transaksi tunai.
Sebuah studi oleh Prelec dan Simester (2001) menemukan bahwa orang cenderung mengeluarkan lebih banyak saat menggunakan kartu kredit atau metode pembayaran non-tunai dibandingkan dengan pembayaran tunai.
Hal ini disebabkan karena pembayaran digital memberikan kita 'jeda' atau delay dalam perasaan kehilangan uang. Padahal, pada akhirnya, uang itu tetap keluar, hanya saja kita tidak langsung merasakannya.
Bayangkan kamu sedang berada di kasir, dan dompet kamu bilang, "Aku sudah nggak punya isi, tapi tap-tap aja terus. Aku kuat!" Ironisnya, mungkin justru dompetmu yang tersenyum kecut.