Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker & Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kolam Asam dan Laut Kita yang Terancam

24 Agustus 2024   09:57 Diperbarui: 25 Agustus 2024   14:18 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Shutterstock via Kompas.com


Tumbuh besar di daerah dekat pesisir, ikan sudah menjadi menu sehari-hari yang hampir selalu ada di meja makan keluarga saya. Mulai dari ikan goreng, ikan bakar, sup ikan, telur ikan, ikan asin, hingga ikan asap merupakan beberapa jenis hidangan ikan yang pernah saya makan.

Dari sekian banyak pilihan hidangan tersebut, ikan asap bagi saya merupakan favorit dari semua. Apalagi saat dimasak dengan kuah santan bercampur ulegan cabe bernuasa pedas. Mmmhh, yummy. Saat menyantapnya, rasanya jiwa dan raga ini tidak ingin berpaling semasekali.

Terlebih ketika sayur ikan asap tersebut dipadukan dengan nasi "menir", yaitu jagung yang ditumbuk halus kemudian dikukus dan diaduk dengan nasi putih. Sensasi rasanya sangat menggugah selera sehingga membuat ingin nambah lagi dan lagi. Makan cuma sepiring sepertinya tidak akan cukup, karena godaan lauk ikan asap kuah santan pedas sungguh tidak bisa ditolak.

 Hidangan ikan asap kuah santan pedas, kuliner yang mungkin akan hilang karena terancamnya keanekaragaman hayati laut | Ilustrasi gambar: cookpad.com
 Hidangan ikan asap kuah santan pedas, kuliner yang mungkin akan hilang karena terancamnya keanekaragaman hayati laut | Ilustrasi gambar: cookpad.com

Namun, sudah dua puluhan tahun terakhir ini hidangan ikan semacam itu menjadi sesuatu yang cukup langka bagi saya pribadi. Khususnya setelah merantau jauh dari rumah.

Mungkin hanya sesekali saja saya menemukan penjual ikan asap di pasar dekat rumah. Terkadang seminggu cuma ada sekali. Itupun dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang di kampung halaman saya dulu.

Keberadaan saya yang jauh dari pusat penghasil ikan asap tentu ikut mempengaruhi. Akan tetapi, setelah saya periksa beberapa pemberitaan di media masa ternyata hasil tangkapan ikan nelayan selama beberapa tahun terakhir ini memang juga banyak mengalami kendala, sehingga mempengaruhi pasokan ikan secara keseluruhan.

Hasil tangkapan ikan semakin berkurang. Waktu tangkapan pun menjadi tidak menentu lagi karena musim ikan lebih sukar diprediksi. Secara tidak langsung hal inipun mempengaruhi jumlah pasokan bahan baku ikan asap dan jenis olahan ikan lainnya.

Akan tetapi, di sini sebenarnya ada hal yang jauh lebih penting ketimbang memikirkan urusan hidangan ikan. Karena sebenarnya nasib bumi kita sedang dipertaruhkan. Laut kita, yang notabene mendominasi sekitar 70% permukaan bumi, kini sedang tidak baik-baik saja.

Membludaknya emisi karbon dioksida (CO2) di bumi adalah penyebab utama gangguan tersebut. CO2 yang sudah semakin memenuhi atmoster makin banyak yang larut ke laut sehingga mengakibatkan air laut semakin asam.

Pengasaman Air Laut

Dalam buku The Sixth Extinction, Elizabeth Kolbert memaparkan bahwa sekitar 30% CO2 yang dilepaskan ke atmosfer akibat aktivitas manusia (misalnya pembakaran bahan bakar fosil) diserap oleh lautan sehingga mengakibatkan kadar CO2 di air laut meningkat.

Reaksi antara CO2 dengan air (H2O) tersebutlah yang kemudian membentuk asam karbonat. Asam karbonat terdisosiasi menjadi ion bikarbonat dan ion hidrogen. Ion hidrogen inilah yang lantas menyebabkan penurunan pH air laut sehingga air laut menjadi asam.

 Pengasaman air laut menyebabkan rusaknya terumbu karang | Ilustrasi gambar: www.gatra.com
 Pengasaman air laut menyebabkan rusaknya terumbu karang | Ilustrasi gambar: www.gatra.com

Pengasaman air laut bukannya sesuatu yang tidak terjadi pada masa lalu, hal itu memang juga terjadi. Hanya saja, siklus yang terjadi lebih terkendali seiring laju penambahan CO2 yang belum semasif sekarang. Saat ini kita bisa melihat dari berbagai publikasi betapa "boros"-nya kita dalam memproduksi CO2. Tak ayal hal itu pun membuat laut kewalahan.

Industrialisasi tidak bisa dipungkiri ikut andil menciptakan kondisi ini. Ketergantungan kita yang masih tinggi terhadap energi fosil menjadi penegasan bahwasanya kita sendirilah yang sebenarnya sedang "menggergaji batang pohon yang kita duduki" dengan menjadikan bumi semakin sakit dan kurang bersahabat bagi sebagian penghuninya.

Perlahan tapi pasti, dampak dari pengasaman laut tersebut membuat kehidupan laut rusak. Pengasaman menyebabkan organisme laut, khususnya yang memiliki cangkang luar atau kerangka seperti moluska, kerang, dan beberapa jenis plankton mengalami perlambatan proses pembentukan cangkang atau bahkan melarutkan cangkang yang sudah mereka bentuk.

Lebih berbahayanya lagi, pengasaman air laut bisa merusak terumbu karang yang merupakan salah satu sistem kehidupan paling produktif di dunia. Mengingat Indonesia terletak hampir sempurna di tengah-tengah kawasan Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, pengasaman air laut tentu merupakan ancaman serius bagi kita semua.

Tanda-tandanya sudah tampak. Misalnya, hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oceanografi (RCO) tahun 2019 yang menunjukkan sekitar 33,8% terumbu karang di Indonesia dalam kondisi buruk atau rusak [1].  

Padahal, terumbu karang memegang peranan sangat penting dalam menjaga keanekaragaman hayati lautan, antara lain sebagai habitat dan tempat berkembang biak biota laut, sebagai sumber makanan, dan sebagai pelindung bagi ekosistem.

Kolam Susu dan Ekonomi Biru

Kekayaan alam Indonesia, terutama lautan, sangat melimpah dan beraneka ragam. Sampai-sampai grup musik legendaris Koes Plus menuangkan hal tersebut ke dalam sebuah lagu.

Bukan lautan hanya kolam susu

Kail dan jala cukup menghidupimu

Tiada badai tiada topan kau temui

Ikan dan udang menghampiri dirimu

Namun, dengan situasi air laut yang semakin mengasam dan kehidupan terumbu karang makin terancam, metafora yang disampaikan oleh Koes Plus berpotensi tidak bisa lagi kita temui di masa depan. Kolam susu akan berubah menjadi kolam asam yang memusnahkan kehidupan laut berikut segenap ekosistem yang ada didalamnya.

 Ekonomi biru menyimpan potensi ekonomi luar biasa, namun praktiknya terancam oleh rusaknya keanekaragaman hayati laut | Ilustrasi gambar: www.rri.co.id
 Ekonomi biru menyimpan potensi ekonomi luar biasa, namun praktiknya terancam oleh rusaknya keanekaragaman hayati laut | Ilustrasi gambar: www.rri.co.id

Kail dan jala tidak akan lagi berguna seiring ikan dan udang yang ada di lautan kehilangan habibat penopang hidupnya. Terumbu karang yang selama ini menjadi tempat berlindung bagi ikan-ikan kecil akan semakin terkikis keberadaannya oleh pengasaman. Secara tidak langsung, hal itulah yang membunuh ikan-ikan kecil sebelum mereka sempat tumbuh menjadi ikan-ikan dewasa.

Dengan kondisi tersebut, maka bagaimana kita bisa mengharapkan terlaksananya ekonomi biru yang sedang digadang-gadang itu?

Sebagaimana diketahui bersama, pemerintahan Republik Indonesia dari waktu ke waktu terus mengupayakan kemajuan bagi bangsa ini. Khususnya secara ekonomi. Berbagai upaya ditempuh dan segala cara dilakukan. Salah satunya dengan mendorong implementasi konsep ekonomi biru.

Potensi laut kita luar biasa besar sebagaimana digambarkan oleh Koes Plus tadi. Maka, bukankah sangat menyesakkan manakala gagasan ekonomi biru yang masih belum mencapai kejayaan tersebut justru sudah teramputasi lebih dulu oleh pengasaman lautan?

Oleh karena itulah diperlukan tindakan penanganan, penanggulangan, ataupun pencegahan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya agar kita tidak kadung menyesal meratapi keadaan saat semuanya sudah terlambat kelak.

Tapi, sayangnya, kita tidak bisa melakukan itu semua sendiri. Tidak sebagi individu, sebagai komunitas, atau bahkan pemerintah sekalipun. Karena bagaimanapun juga bumi ini dihuni oleh miliaran manusia yang tinggal di berbagai belahan dunia, berikut dengan berbagai tindakan dan egonya. Sehingga yang diperlukan untuk menyatukan mereka semua adalah adanya suatu gerakan kolaborasi yang menyatukan pemahaman.

5 Upaya Kolaborasi

Kolaborasi berbasis gerakan untuk memulihkan sekaligus melindungi bumi, khususnya lautan, dari ancaman pengasaman harus ditempuh dengan memperhatikan berbagai aspek dari penopangnya, antara lain:

1. Pendidikan dan Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Kalau bisa dibilang kunci utama dari upaya kolaborasi melindungi ekosistem laut ini adalah pendidikan. Pendidikan menjadikan kita tahu banyak hal termasuk sebab akibat dan dampak jangka pendek maupun panjang terhadap suatu peristiwa. Kemampuan bernalar dan melihat masa depan adalah syarat utama lahirnya sebuah kesadaran.

Misalnya dengan memberlakukan kurikulum khusus terkait pentingnya memelihara keanekaragaman hayati. Atau bisa juga dengan mengadakan penyuluhan khusus di kampung-kampung pesisir untuk membangun kesadaran ekosistem laut di teengah masyarakat.

Sehingga dengan kesadaran itulah yang nantinya akan menjadi auto-pilot bagi masing-masing pribadi untuk turut berbuat yang terbaik bagi keberlangsungan ekosistem di lautan.

2. Mengurangi Emisi Karbon Dioksida (CO2)

Sebagai penyebab utama pengasaman air laut tentunya cara terbaik adalah dengan mereduksi semaksimal mungkin CO2 yang terpasok ke atmosfer. Hal-hal yang sedang diupayakan saat ini seperti pemberdayaan EBT, atau penggunaan kendaraan listrik harus lebih dioptimalkan.

Penggunaan energi listrik diperkirakan bisa mengurangi emisi karbon lebih dari 50 persen [2].

Pola hidup masyarakat yang masih bergantung pada bahan bakar fosil mesti diakselerasi kemandiriannya.Tidak mudah memang, namun jika langkah tersebut tidak kita tempuh maka semuanya pasti akan terlambat.

3. Konservasi dan Pemulihan Ekosistem Laut

Upaya konservasi laut cenderung masih hanya dilakukan oleh para aktivis pegiat lingkungan. Sementara jumlah komunitas semacam ini terbilang masih sangat sedikit. Butuh dukungan ekstra dari komunitas lain yang memiliki intensitas tinggi berbaur dengan ekosistem lautan, misalnya nelayan, petani laut, dan sejenisnya seperti kegiatan bernama Indonesia Coral Reef Garden yang pernah dilakukan di provinsi Bali.

Disamping memanfaatkan hasil laut, nelayan juga mesti diarahkan untuk turut serta merawat ekosistem yang ada dan menghindari tindakan-tindakan yang merusak ekosistem laut dalam jangka panjang. Seperti menggunakan pukat untuk menangkap ikan sehingga memutus kehidupan ikan-ikan kecil sebelum ia sempat tumbuh dewasa.

4. Pemantauan dan Penelitian

Setiap langkah yang kita perbuat, khususnya dalam upaya kolaborasi ini tentu membutuhkan panduan yang jelas. Pemantauan situasi terkini adalah informasi penting untuk menentukan langkah dan strategi apa yang akan ditempuh selanjutnya.

Begitupun dengan penelitian, hal ini akan memberikan sudut pandang baru dalam memahami apakah kondisi yang sedang terjadi memerlukan langkah-langkah extraordinary atau tidak.

5. Kerjasama Internasional

Dunia kita terhubung dengan semua orang. Polusi yang kita perbuat di Indonesia akan turut dirasakan dampaknya di Korea Selatan sana. Begitupun sebaliknya. Pengasaman air laut yang terjadi di sisi laut Benua Eropa pun lambat laun juga akan mempengaruhi keadaan kita yang tinggal di Indonesia. Keterhubungan ini yang memerlukan kolaborasi dari semua pihak, dan bahkan seluruh umat manusia.

Krisis iklim dan ancaman terhadap keanekaregaman hayati bukanlah masalah satu komunitas atau bahkan satu negara saja. Inilah masalah bagi semua penduduk bumi, khususnya manusia. Oleh karena itu, kerjasama internasional memegang peranan penting dalam menciptakan kestabilan bumi yang kita tinggali ini.

Penegakan Paris Agreement penting dilakukan agar semua negara yang terlibat ikut mematuhi isi perjanjian tersebut. Begitu pula dengan perjanjian-perjanjian lain yang mengusung misi utama menyelamatkan bumi.

kolaborasi-lingkungan-66c94ad3c925c420330811d2.png
kolaborasi-lingkungan-66c94ad3c925c420330811d2.png

Kolaborasi merawat lingkungan adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kondisi bumi| Ilustrasi gambar: sindonews.com

***

Elizabeth Kolbert mengatakan dalam buku The Sixth Extinction-nya kurang lebih begini, "A Future that would be unrecognizable to those of us who have been fortunate enough to live in what will soon be the ancient past." yang menggambarkan bagaimana tindakan manusia bisa mengubah planet kita secara drastis sehingga bahkan anak cucu kita barangkali tidak akan mengenali dunia yang kita tinggali saat ini.

Mungkin dalam beberapa tahun mendatang hidangan ikan asap akan menjadi komoditas yang lebih langka ditemui seiring populasi ikan di lautan yang semakin terancam. Entah apa yang bisa saya katakan kepada anak cucu nanti ketika mereka mempertanyakannya.

Semoga tulisan singkat ini bisa memberi mereka sedikit penjelasan.

Lantas bagaimana dengan Anda?

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

Refferensi:

[1] Kondisi terumbu karang di Indonesia: nationalgeographic.grid.id

[2] Kendaraan listrik mengurangi emisi karbon: web.pln.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun