"Bunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari kalangan Bani Israil ini!" Pekik Fir'aun sang raja tiran menyampaikan titahnya dengan penuh kesemena-menaan kepada rakyat Mesir.
Hal itu dia lakukan setelah mendengar takwil mimpi dari para tukang tenunnya yang menyatakan bahwa suatu hari nanti akan ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang hendak meruntuhkan kekuasaan Fir'aun.
Sehingga pada masa itu semua kaum ibu yang tengah mengandung pun was-was manakala anak yang dilahirkannya kelak adalah bayi laki-laki. Karena itu berarti anak mereka akan segera dieksekusi mati oleh Fir'aun dan pengikutnya.
Pada saat itu, memiliki anak laki-laki bisa berarti kesedihan. Kepahitan. Kegetiran. Bukan karena orang tuanya tidak menginginkan sesosok anak laki-laki, melainkan karena tiran sang penguasa yang memang tidak menghendaki kelahiran anak laki-laki di wilayah kekuasaannya.
Oleh karena itu, andaikata para orang tua yang hidup pada masa tirani Fir'aun tersebut ditanya apakah ingin anak laki-laki atau anak perempuan sepertinya mereka akan menjawab, "Anak perempuan saja!"
Berbeda halnya dengan Fir'aun yang "paranoid" terhadap bayi laki-laki, masyarakat arab zaman jahiliyah justru merasa risih apabila terjadi kelahiran bayi perempuan di dalam keluarganya. Anak perempuan pada masa itu seringkali dianggap aib.
Sehingga tidak sedikit dari kalangan bangsa arab yang tega mengubur hidup-hidup anak perempuannya sendiri. Â Melahirkan bayi perempuan dianggap sebagai sesuatu hal yang memalukan bagi sebagian keluarga arab jahiliyah masa itu.
Kaum perempuan tidak dipandang setara sebagaimana halnya kaum lelaki. Keberadaan mereka ditepikan dan tidak diharapkan.
Sebaliknya, anak laki-laki begitu diharapkan karena bisa meningkatkan status sosial sebuah keluarga di hadapan kaum arab jahiliyah lainnya.
Disadari atau tidak, preferensi orang tua untuk memiliki anak dengan gender tertentu (son preference) ternyata sudah terjadi sejak dulu kala. Meski mungkin latar belakang penyebabnya bisa jadi berbeda pada setiap zaman.
Jika pada masa Fir'aun kelahiran anak laki-laki tidak diharapkan karena adanya rasa takut dan kekhawatiran akan kehilangan, maka pada masa arab jahiliyah penolakan terhadap anak perempuan lebih didorong oleh rasa takut dan kekhawatiran akan aib status sosial sebuah keluarga.
Berdasarkan kajian yang dilakukan di era modern, preferensi tersebut bisa dipengaruhi oleh faktor sosio-ekonomi dan norma sosial yang berlaku di masyarakat (Jayachandran, 2015). Selain itu, value seorang anak juga turut mempengaruhi son preference yang dimiliki para orang tua (Hoffman, 1973).
Kesetaraan Keluarga
"Yahhh, perempuan lagi..", "Yahhh, laki-laki lagi..". Familiar dengan ekspresi semacam itu?
Meski disampaikan dalam gimik yang berbeda-beda, namun kesan kecewa sangat bisa ditangkap manakala seorang (calon) ayah atau (calon) ibu mengharapkan hadirnya jenis kelamin bayi berbeda ketimbang yang mereka ketahui saat itu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa memang selalu ada preferensi yang berbeda antar pribadi. Antara orang tua dan menantunya. Bahkan antara suami dan istrinya sangat mungkin berbeda harap terkait jenis jabang bayi yang kelak lahir di keluarga mereka.
Pernyataan ,"Mau bayi laki-laki atau perempuan sama saja, yang penting sehat." terdengar bijak diungkapkan. Akan tetapi, hal itu tetap tidak bisa menghapus realita preferensi bahwa adakalanya orang tua mengharapkan anak yang terlahir ke dunia adalah sosok kelamin berbeda daripada yang mereka tahu.
Apalagi jika pada kehamilan sebelumnya sudah hadir seorang anak dengan jenis kelamin tertentu, maka kehamilan berikutnya biasanya mengharapkan jenis kelamin yang berbeda. Jika kelahiran pertama adalah anak laki-laki, maka kelahiran berikutnya yang diharapkan adalah anak perempuan. Begitupun sebaliknya.
Namun, perlu diketahui bahwa kaum ibu memiliki andil yang cukup besar terhadap proses tumbuh kembang anak-anaknya berkaitan dengan preferensi gender yang mereka miliki.
Palloni (2017) menemukan fakta bahwa anak yang terlahir dengan jenis kelamin sesuai preferensi ibu akan memiliki tinggi dan berat badan yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang jenis kelaminnya tidak sesuai preferensi ibu mereka.
Preferensi orang tua terhadap salah satu gender dinilai berpengaruh terhadap cara mengalokasikan makanan, waktu pengasuhan, dan sumber daya lain pada anak-anak mereka (Lin et al., 2021).
Dengan kata lain, preferensi gender turut mendorong terjadinya diskriminasi gender. Yang ironisnya, hal itu mungkin saja terjadi di lingkungan keluarga kita sendiri. Meskipun terkait kadar diskriminasinya masih perlu diperdebatkan lagi. Â
Narasi-narasi tentang kesetaraan gender yang digaungkan dan diperjuangkan dari waktu ke waktu di tengah masyarakat modern sekarang seakan tertampar oleh realitas bahwa peristiwa diskriminatif justru mulai terjadi di lingkungan yang paling vital, yakni keluarga.
Sudah sewajarnya bagi sebuah keluarga untuk menghadirkan ruang kesetaraan kepada semua orang dari keluarga tersebut.
Ketika benih-benih diskriminasi gender yang tersamarkan dalam rupa preferensi ini dibiarkan terus terjadi maka hal itu akan semakin memperbesar tantangan untuk menciptakan kesetaraan gender di masyarakat.
Orang Tua Paranoid
Ada pernyataan menarik tentang anak laki-laki dan perempuan yang mungkin bisa mewakili alasan mengapa orang tua ingin punya anak dari salah satu jenis kelamin tersebut.
Pernyataan 1 : Anak perempuan itu lebih tinggi kasih sayangnya dan lebih peduli kepada orang tua.
Pernyataan 2 : Anak laki-laki itu lebih bisa diandalkan untuk membantu mencari nafkah orang tua.
Dua pernyataan tersebut sepertinya tidak asing dan cukup familiar kita temui dalam kehidupan sehari-hari, bukan?
Tapi apakah kita semua sepakat dengan pernyataan tersebut? Sepertinya tidak.
Pernyataan 1 dan 2 tidak bisa dibilang sebagai suatu hal yang mutlak karena dalam realitasnya tidak selalu seperti itu. Dua pernyataan tersebut muncul karena adanya rasa "paranoid" bahwasanya kelak ketika seorang ayah atau ibu telah lanjut usia mereka akan kurang mendapatkan perhatian dari anaknya yang seorang laki-laki atau makin berat beban ekonominya manakala hanya punya anak perempuan.
Padahal, ada banyak anak laki-laki yang memiliki kasih sayang dan kepedulian tak kalah besar kepada orang tuanya dibandingkan anak perempuan. Kisah Satrio Pamungkas (TikTok @satrio_ojon) yang merawat ayah terserang struk bisa menjadi contoh.
Sebaliknya, ada cukup banyak anak perempuan yang lebih mahir menghasilkan uang dan membantu mencarikan nafkah untuk keluarga / orangtua dibandingkan anak laki-laki. Hal ini saya dapati sendiri di keluarga istri saya yang sedari kecil hingga sekarang terus membantu meringankan beban orang tua melalui hasil jualan ataupun menyisihkan gaji pekerjaan.
Paranoid orangtua pada anak-anaknya seringkali hanyalah imbas dari pengaruh suara-suara sekitar yang belum jelas kebenarannya. Karena bagaimanapun juga anak-anak selepas dilahirkan ibarat kertas putih yang bisa ditulisi apapun oleh orang tuanya. Mereka bisa menjadi baik atau tidak bergantung pada cara orangtuanya mendidik mereka.
Jadi, terima dan jangan diskriminatif pada anak-anak kita apapun jenis kelaminnya.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib Esais, dapat dikunjungi di agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H