"Jangan sampai terjebak dalam perang harga." Petuah itu cukup sering saya dengar dari para praktisi pemasaran dan branding produk melalui beberapa video di youtube dan instagram.
Perkara harga memang menempati strata pembahasan yang krusial dalam praktik bisnis apapun. Apalagi jika dikaitkan dengan konsumen yang punya kecenderungan menyukai produk berharga murah. Khususnya di kalangan kelas menengah.
Sehingga hal itupun akhirnya membuat sebagian produsen berlomba-lomba menawarkan harga terendah kepada konsumen agar supaya tertarik untuk membeli produknya sekaligus menanggalkan produk pesaing.
Padahal, ketika sebuah produk sudah menjadikan harga sebagai acuan persaingan maka mereka harus bersiap memasuki perang harga yang berdarah-darah dengan para kompetitor.
Keluhan yang saya dengar dari kolega tenaga penjualan di perusahaan tempat saya bekerja beberapa waktu lalu menegaskan hal itu.
Dia mengatakan bahwa saat ini pasar produk kami tengah mendapatkan tekanan berat dari para pesaing yang gencar menawarkan produk serupa namun harganya lebih murah.
Ketika kami menawarkan harga (misalnya) 10.000 rupiah untuk satu biji produk, pihak kompetitor menyandingkan produknya dengan harga hanya 8.500 rupiah. Netto-nya memang sedikit lebih kecil daripada produk kami, namun selisih harga yang lebih murah itu sudah cukup membuat dag dig dug tenaga pemasaran kami di daerah.
Alhasil, salah satu produk yang kami miliki pun mengalami penurunan omset cukup signifikan. Mungkin pada kisaran 10% atau bahkan lebih. Saya kurang tahu angka pastinya.
Melihat situasi tersebut, belakangan ini si bos besar tampaknya mulai panik dan sedang bersiap melakukan develop produk yang sayangnya masih berkutat pada upaya mengurangi/menambahi netto produk ataupun sebatas mengutak-atik proporsi harga jualnya saja.
Bukan kali ini saja situasi semacam itu terjadi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi sebelum-sebelumnya.