Dengan kata lain, sebenarnya kami sedang memasuki medan perang harga yang mestinya (bisa) kami hindari. Entah hal ini disadari oleh bos besar atau tidak, yang pasti situasi perang harga ini cukup merisaukan para pelaku bisnis.
Dalam praktik perang harga siapa yang menawarkan harga lebih murah dipersepsikan akan memimpin persaingan, meski sejatinya mereka juga mengorbankan ongkos yang lebih tinggi untuk pengelolaan bisnis. Atau setidak-tidaknya mereduksi potensi profitnya sampai pada taraf mengkhawatirkan. Hal ini tentu sangat berisiko bagi keberlanjutan (sustainable) sebuah bisnis.
Value, brand, karakter, serta kualitas seharusnya lebih dikedepankan kepada konsumen sebagai daya tawar produk ketimbang harga. Sedangkan untuk harga sendiri mungkin cukup disematkan sebagai atribut pelengkap daya tawar saja.
Ongkos Politik
Disadari atau tidak, perihal perang harga ini sebenarnya juga telah menjangkiti sistem demokrasi kita. Khususnya saat pesta demokrasi menjelang. Entah itu dalam tataran pilpres, pileg, pilgub, pilbup, pilwali, bahkan hingga pilkades sekalipun.
Sudah banyak yang mengatakan bahwa ongkos politik di Indonesia itu mahal. Cak Imin (Muhaimin Iskandar) pernah nyeletuk bahwa seseorang memerlukan modal puluhan milyar untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).
Bahkan dalam tingkat pilkades di daerah sekitaran tempat kerja saya tersiar kabar bahwa pemenang kontestasi pilkades harus merogoh kocek hingga 4 miliar rupiah untuk meraup suara tertinggi.Â
Posisi runner up diketahui sudah menggelontorkan modal hingga 2 milar rupiah. Sedangkan peringkat ketiga telah menghabiskan modal sekitar 1 miliar rupiah.
Jika benar seperti itu yang terjadi maka bisa dikatakan bahwa siapa yang berani membayar dengan harga lebih tinggi maka dia akan menjadi pemenang.
Nah, bukankah ini bagian dari perang harga juga?
Bedanya, dalam hal ini politisi-lah yang mengeluarkan modal. Mereka membeli kemenangannya melalui praktik politik uang dengan membayar para konstituen (butuh duit) yang mereka harapkan hak suaranya.
Dalam hal ini mereka harus bersaing dengan politisi lain yang menginginkan ceruk serupa dan berani membayar lebih tinggi atau sebaliknya.