Pokoknya dirinya sendiri harus mendapatkan yang terbaik, meskipun itu berarti juga mengabaikan kemasalahatan orang lain. Sebuah praktik egosentris yang tidak bisa dipungkiri telah menjangkiti sebagian kalangan belakangan ini.
Lawrence Kohlberg (1981) menyatakan bahwa pada tahap perkembangan moral yang lebih awal individu cenderung egosentris dan berfokus pada pemenuhan kebutuhan pribadi. Perspektif Kohlberg ini bisa kita pergunakan untuk memaknai hasrat menggebu para orang tua (atau mungkin anaknya juga) untuk mengambil hak zonasi orang lain melalui praktik numpang KK dan sejenisnya.
Konsekuensi dari hal itu, Karen Horney (1950) menekankan bahwa sikap egosentris dapat memicu perasaan kesepian, terisolasi, dan ketidakpuasan hubungan.
Ketidakpuasan hubungan inilah yang bisa jadi merupakan alasan dibalik maraknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang pindah kewarganegaraan menjadi Warga Negara (WN) Singapura dalam beberapa tahun terkahir.
Alasan Pindah Warga Negara
Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) baru-baru ini mempublikasikan data bahwa sekitar 3.912 WNI telah pindah menjadi WN Singapura dalam kurun waktu 2019 -- 2022.
Sebagian dari WNI yang pindah merupakan kelompok cerdas yang sebelumnya menimba ilmu di negeri singa dan lantas berpindah haluan warga negara. Motif untuk memperoleh taraf kehidupan yang lebih sejahtera merupakan bahasa lain dari ketidakpuasan terhadap situasi yang ada di negara asal.
Ketidakpuasan hubungan dengan Indonesia berdampak pada eksodus warga negara ke Singapura. Dan kalau dirunut ke belakangan, hal itu sangat mungkin bermula dari hasrat untuk mementingkan ego pribadi dalam mendapatkan apapun yang (menurutnya) terbaik bagi diri sendiri.
Maka jangan kaget manakala kelak akan bertambah warga negara kita yang melakukan eksodus kewarganegaraan dengan dalih "mendapatkan yang lebih baik" manakala situasinya di lingkungan dekat kita sudah menunjukkan gejala demikian.
Baca Juga:Â Polling Capres, Wujud Mosi Tidak Percaya Publik terhadap Lembaga Survei
Jangan-jangan ini semua memang merupakan imbas dari kegagalan kita dalam menyediakan pendidikan berkeadilan bagi segenap warga negara. Bukankah begitu?
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib