Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Egosentris Zonasi Sekolah dan Eksodus Warga Negara

17 Juli 2023   14:33 Diperbarui: 22 Juli 2023   19:21 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Egosentris zonasi sekolah menghadirkan masalah baru pada masa mendatang | Ilustrasi gambar : pixabay.com / WOKANDAPIXInput sumber gamba

Video viral seorang pria mengukur jarak rumahnya ke sebuah sekolah menggunakan meteran gegara sang adik gagal dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) baru-baru ini menjadi cerminan kekecewaan publik terhadap aturan zonasi sekolah, khususnya bagi mereka yang tersingkir akibat praktik numpang KK (Kartu Keluarga) yang dilakukan para oknum tidak bertanggung jawab.

Kebijakan zonasi sekolah yang awalnya dimaksudkan untuk menciptakan sistem pendidikan berkadilan bagi segenap anak bangsa ternyata justru menjadi pemicu lahirnya bentuk kecurangan baru yang dilandasi oleh kekhawatiran, ketidakpercayaan, dan mungkin saja keegoisan sebagian orang tua karena risau terhadap kualitas pendidikan anak-anaknya.

Praktik numpang KK mungkin tidak akan terjadi manakala para orang tua percaya terhadap kualitas layanan pendidikan di sekitar mereka. Sayangnya, tingkat keyakinan sebagian orang tua terhadap kesetaraan mutu sekolah terbilang masih rendah. Di samping masih melekatnya paradigma lama terkait sekolah favorit yang mestinya sudah harus ditanggalkan seiring pemberlakuan sistem zonasi ini.

Apakah salah upaya dari para orang tua untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya? Tentu saja tidak. Namun, bukan berarti hal itu bisa dilakukan dengan menghalalkan segala cara.  Salah satunya dengan mengkudeta hak orang lain.

Di samping menyakiti hati, hal itu juga secara tidak langsung telah menjadi awalan buruk dalam upaya menjalankan prosesi pendidikan berkualitas bagi anak-anak kita dimasa depan.

Dalam terminologi pengendalian kualitas Six Sigma, pengelolaan kualitas terbaik itu harus dimulai dari awal tahapan proses. Ketika kita mendambakan hasil akhir proses dengan rating sigma enam (six) maka proses-proses yang mendahuluinya juga harus mencapai rating minimal enam.

Jika rating sigma yang ditargetkan pada akhir sebuah proses adalah empat, maka rating sigma pada proses awalnya haruslah lebih besar dari itu. Lima atau enam. Minimal empat juga. Tidak bisa sebuah rating sigma yang pada awalnya kecil lantas mengharap rating sigma yang besar di akhir proses.

Begitupun dengan kualitas pendidikan. Manakala proses awalnya sudah bernilai satu maka sukar diharapkan bahwa hasil akhir dari prosesi pendidikan akan mendapatkan rating lebih tinggi dari itu.

Baca Juga : Koreksi Bonus Demografi

Pendidikan yang Egosentris

Siapa sih yang tidak mau mendapatkan layanan terbaik untuk dirinya sendiri? Hampir semua orang mendambakan itu. Termasuk dalam layanan pendidikan hal itu juga berlaku. Pemberlakuan sistem zona yang menjadi acuan bagi para peserta didik untuk memilih sekolah tidak menjadi aturan yang benar-benar mengikat dan baku.

Biarpun sudah diberikan ruang kelonggaran melalui jalur prestasi dan lain sebagainya, tetap saja masih banyak orang tua yang menginginkan anak-anaknya masuk ke sekolah tertentu. Biarpun harus mengakali hak zonasi milik orang lain hal itu tidak dipedulikan karena yang terpenting bagi mereka adalah sang buah hati bisa mengakses satuan pendidikan yang mereka tuju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun