Saya melihat teman-teman yang tidak pernah ranking saat sekolah ternyata kini berhasil menempati posisi strategis dalam karir. Akan tetapi, ada juga beberapa orang dengan prestasi sekolah lumayan ternyata karirnya stagnan.
Setelah saya perhatikan lagi, mereka yang berhasil menapaki karir mapan itu umumnya adalah para pribadi yang bisa membaur, aktif berorganisasi, serta terbiasa berkolaborasi dengan orang lain.
Menurut Lilis Halim, Consultant Director Willis Tower Watson Indonesia, global skill  seperti membaur dengan lintas budaya atau berkolaborasi sangatlah diperlukan dalam dunia kerja. Bukan melulu soal ranking.
Di dalam dunia kerja kita akan menemui banyak persoalan yang harus dipecahkan. Namun, itu semua tidak harus kita sendiri yang menyelesaikan. Ada rekan kerja, atasan, serta tim yang bisa diminta bantuan dan dukungannya untuk menyelesaikan persoalan.
Melihat hal ini saya pun teringat masa-masa sekolah dulu yang cenderung acuh terhadap kegiatan-kegiatan pengasah kolaborasi semacam ini. Absen dari OSIS, memilih study oriented saat sekolah dan kuliah, serta cenderung individualistis.
Sekolah Tanpa Ranking
Saya bersyukur pernah memperoleh ranking di kelas semasa sekolah. Namun, andai kata bisa mengulang waktu maka saya akan memilih agar sistem ranking tersebut ditiadakan. Mengapa? Setidaknya ada empat alasan yang bisa saya utarakan disini.
#1. Menghilangkan Dikotomi Siswa Pandai Versus Bodoh
Siswa dengan ranking lima teratas biasanya digolongkan sebagai anak pandai. Sebaliknya, lima terbawah adalah anak bodoh. Padahal, setiap orang diciptakan spesial oleh Sang Pencipta dengan segala potensi masing-masing.
Berdasarkan dalil tersebut mestinya semua siswa sekolah adalah ranking satu di bidangnya. Hanya saja potensinya masih belum tergali atau belum disadari bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Dengan kata lain, semua siswa berhak mendapatkan kesetaraan bahwa mereka adalah pribadi berpotensi.
#2. Menghapus Celah Tekanan Mengejar Ranking
Terkadang ranking cenderung menjadi alat eksistensi para orang tua dihadapan orang lain. Pamer status ranking anak kesana-kemari tanpa mau tahu apa sebenarnya yang dirasakan sang anak saat memperjuangkan predikat ranking itu.