Mereka yang nilainya dibawah standar akan terdegradasi ke kelas lain (B, C, D, E, dan F). Sebaliknya, siswa dari kelas lain yang nilainya mencapai standar akan mendapatkan promosi ke kelas A.
Berbeda dengan di SMP, kompetisi sewaktu di SMA lebih kepada dorongan untuk masuk ke penjurusan IPA serta keinginan untuk mendapatkan ranking di kelas.
Tapi, saya bersyukur masih bisa bersaing dengan meraih prestasi cukup baik waktu itu serta sempat beberapa kali menjadi ranking satu juga.
Dengan predikat ranking yang saya dapatkan, kala itu saya sempat merasa bahwa keadaan saya pasca lulus SMA nanti pasti akan lebih baik ketimbang teman-teman sekolah yang lain.
Namun, saya salah. Justru saya mengalami kesulitan memilih jurusan kuliah yang benar-benar sesuai bidang minat. Sementara banyak dari teman-teman lain yang cenderung lebih mudah menentukan pilihannya secara mantap.
Ada yang memutuskan kuliah di jurusan mesin, elektro, pertanian, kebidanan, dan sebagainya.
Saya sendiri justru mengalami banyak keraguan. Status sebagai penyandang ranking kelas nyatanya tidak serta merta memudahkan saya menuju jenjang pendidikan selanjutnya.
Celakanya lagi, saya tidak benar-benar tahu bidang apa sebenarnya yang saya mau. Saya tidak tahu bidang yang benar-benar menjadi passion dan potensi pribadi saya. Karena sebagai pemegang ranking kelas saya hanya terobsesi untuk pintar pada hampir semua mata pelajaran.
Hingga singkat kata, saya pun memilih bersikap pragmatis. Mengambil jurusan kuliah yang kata orang waktu itu menjanjikan peluang karir besar tanpa benar-benar tahu potensi saya dalam hal apa.
Pada titik ini saya mulai merasa bahwasanya ranking yang pernah saya dapatkan bukanlah segalanya untuk bekal menuju tahapan karir berikutnya.
Urgensi Kolaborasi
Empat tahun saya habiskan untuk menyelesaikan kuliah sampai kemudian masuk ke dunia kerja. Yang mana saya bisa bersua banyak orang dengan latar belakang berbeda-beda.