Pernah suatu waktu nenek saya (almarhumah) tampak begitu kecewa tatkala mendengar saya hanya menjadi ranking dua di kelas. Saya ingat sekali waktu itu masih duduk di kelas 3 MI caturwulan ke-2.
Nenek saya nyeletuk remeh, "Kok iso awakmu juara loro toh, Le? Padahal biasane kan juara siji terus. Mesti kurang sinau awakmu iki (Kok bisa kamu juara dua, Nak? Padahal biasanya juara satu terus. Ini pasti karena kamu kurang belajar.)".
Saya hanya diam mendengar celetukan nenek saya waktu itu. Meskipun dalam hati saya ingin sekali mengatakan bahwa terkadang kita bisa saja menjadi ranking satu, dua, atau bahkan tidak juara.
Setelah momen itu, setiap selesai ulangan dan mendapatkan nilai baik maka saya langsung bilang ke nenek. Tapi, entah kenapa nenek saya lebih sering menanggapi dingin. Seolah-olah beliau kecewa berat selepas saya gagal mendapatkan ranking satu di sekolah.
Maka dalam hati saya pun bertekad untuk menjadi yang terbaik lagi di kelas dengan belajar lebih giat dari sebelumnya dan tidak ingin mengecewakan keluarga.
Hingga pada momen kelas 4 MI caturwulan ke-2 sewaktu pembagian raport nama saya dipanggil dan diumumkan sebagai ranking dua lagi. Padahal saya sangat yakin saat itu saya bisa menjadi ranking satu.
Saya kecewa sekali. Bahkan beberapa hari setelahnya saya sampai jatuh sakit karena yang saya dapati di raport ternyata memang tertulis bahwa saya adalah ranking satu. Bukan ranking dua seperti diumumkan pihak sekolah sebelumnya.
Orang tua saya pun ikut melakukan komplain perihal "kekhilafan" sekolah waktu itu. Hingga kemudian pihak sekolah mengakui bahwa ternyata mereka telah melakukan kesalahan.
Namun, momen yang saya nanti-nantikan waktu itu sudah terlanjur hilang.
Ranking Bukan Segalanya
Pada masa itu SMP saya memberlakukan sistem degradasi promosi kepada seluruh siswanya. Siswa dengan nilai tertinggi akan berkumpul di kelas A, dan tiap semester pihak sekolah akan melakukan evaluasi.