Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pemberantasan Buta Huruf Harusnya Dimulai dari Sini

13 Februari 2023   16:18 Diperbarui: 19 Februari 2023   01:29 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemberantasan buta huruf perlu menyasar aspek yang lebih personal yakni terkait hasrat dalam diri | Sumber gambar : pixabay.com / geralt

Hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca menurut rilis data UNESCO tahun 2022. Rendahnya minat baca warga negara kita tentu menjadi sebuah ironi besar di tengah masifnya akses internet dan pengguna media sosial (medsos) di Indonesia.

Jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 77% dari total populasi. Dengan total warga negara mencapai 275 juta jiwa itu artinya sekitar 212 juta orang telah mengakses internet.

Disisi lain, Indonesia juga menempati posisi pertama dalam hal penggunaan HP durasi terlama dalam satu hari. Menurut riset data.ai, setidaknya 5,7 jam sehari kita habiskan untuk menatap layar cerdas ini.

Fakta yang seolah-olah menunjukkan modernitas warga kita di zaman teknologi itu ternyata tidak merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya. Besarnya pengakses internet dan pengguna medsos nyatanya tidak selaras dengan angka minat baca yang kita punya.

Lebih miris kalau kita kulik lagi bahwasanya masih ada sebagian dari saudara sebangsa kita yang ternyata belum bisa membaca alias buta huruf. Sepintas jumlahnya mungkin sedikit, "hanya" 3,96% penduduk usia diatas 15 tahun yang mengalami butuh huruf menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021.

Apabila untuk menjadi negara maju diperlukan minimal 2% dari total penduduknya berprofesi sebagai pengusaha, maka prosentase buta huruf sebesar 3,96%  ini sudah cukup untuk menggiring kita menjadi bangsa yang tertinggal dan terbelakang.

Kita lihat saja indeks kecerdasan orang Indonesia yang hanya menempati posisi 130 dari 190 negara menurut rilis World Population Review. Dengan minat baca yang rendah ditambah masih adanya warga negara yang buta huruf maka wajar sekali penilaian ini diberikan.

Angka buta huruf menjadi salah satu tolok ukur peradaban bangsa mengingat itulah langkah pertama untuk memulai semua. Tanpa adanya kemampuan untuk membaca maka tidak akan ada pengetahuan yang merasuk. Tidak akan pula memantik kreativitas.

Kemampuan untuk membaca adalah pintu pertama yang harus dilewati, karena tanpa hal itu maka tidak ada guna membahas perihal rendahnya minat baca, rendahnya inovasi, dan seterusnya.

Jikalau untuk memberantas buta huruf saja tidak mampu maka jangan harap untuk berbuat lebih pada hal-hal lain yang sifatnya lebih kompleks dari itu. Pemberantasan buta huruf merupakan awal dari semuanya.

Hasrat Membaca

Saat berbicara mengenai fenomena buta huruf yang masih saja terjadi di Nusantara (bukan ibukota negara ya) ini mungkin ada banyak sebab yang mengakibatkan hal itu terjadi. Mulai dari akses pendidikan, situasi kemiskinan, kondisi infrastruktur, dan sebagainya.

Tapi anehnya (atau mungkin tidak), persoalan buta huruf ini tak kunjung tuntas meskipun Indonesia bolak-balik ganti presiden dan bahkan telah menatap dirgahayunya yang ke seratus tahun di 2045 mendatang.

Saya pribadi belum terlalu yakin bahwa angka persoalan buta huruf ini akan benar-benar tuntas ketika momen istimewa itu datang. Apalagi jika pendekatan model lama masih terus dianut tanpa didukung analisis memadai.

Kalaupun berhasil mungkin butuh waktu lama untuk menuntaskan persoalan buta huruf itu. Bisa-bisa ketika masa tersebut datang mungkin kita telah tertinggal 50 tahun di belakang negara-negara yang lain.

Kita terfokus untuk menuntaskan kemiskinan terlebih dahulu dengan harapan masyarakat bisa fokus belajar. Demikian halnya dengan program-program yang menyasar infrastruktur, akses pendidikan, dan lain sebagainya.

Akibatnya, ketika program-program itu mengalami kendala maka status buta huruf masyarakat terlihat tidak mengalami perbaikan.

"Jika kamu ingin membuat kapal, jangan mengerahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bersama-sama, jangan pula memberi mereka tugas dan pekerjaan, tapi ajarilah mereka untuk merindukan lautan tanpa batas." Antoine de Saint-Exupery

Upaya mencerdaskan masyarakat yang buta huruf perlu dilakukan lebih dari upaya "normatif" semacam itu.

Bagaimanapun juga, program-program untuk mengentaskan kemiskinan, memperbaiki infrastruktur pendidikan, ataupun program-program sejenis lainnya tak lebih dari upaya eksternal untuk meningkatkan kapasitas baca seseorang.

Padahal ada aspek lain yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Yakni minat untuk belajar membaca dan hasrat untuk bisa. Sangat mungkin dari 10 juta orang yang diperkirakan buta huruf di Indonesia ternyata ada sebagian diantaranya yang tidak memiliki keinginan untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Alias masih bertahan menjalani "kebutaan" yang mereka miliki dengan berbagai alasan.

Faktor internal dari dalam diri mereka yang buta huruf ini juga memerlukan perhatian. Bahkan mungkin perhatian yang jauh lebih besar ketimbang hal-hal lain yang sifatnya teknis.

Yang paling diperlukan oleh para penyandang buta huruf ini adalah mimpi dan hasrat untuk bisa membaca. Kemauan untuk meningkatkan keterampilan mereka saat ini yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa membaca.

Hasrat untuk bisa membaca memiliki peran yang lebih krusial dalam upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia. Sehingga program-program pengentasan buta huruf harusnya dimulai dan ditingkatkan porsinya dalam hal "mempropagandakan" indahnya melek aksara.

Semakin besar pengetahuan tentang peran membaca (dalam berbagai aspek) maka hal itu akan semakin memicu antusiasme belajar seseorang. Bahkan tatkala program pengentasan tidak berjalan sesuai rencana, si empunya diri akan tetap berusaha mengasah diri mereka meski tanpa adanya bantuan dari pemerintah atau pihak berwenang lainnya.

Dorongan dari dalam itulah yang mesti dikompori, dipanasi, dipancing, atau apapun sebutannya agar menjadikan seseorang tergerak dan berusaha berubah menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri khususnya dan orang-orang di sekitar pada umumnya.

Sepertinya tidak cukup bagi kita untuk mengatakan membaca sebagai kunci untuk membuka dunia, seperti pada ungkapan "Buku adalah jendela dunia, dan membaca adalah kuncinya.".

Mungkin kita juga perlu menyatakan bahwa membaca adalah kunci menjadi kaya, menjadi terkenal, dan hal-hal lain yang jauh lebih populer di kalangan masyarakat bawah ketimbang narasi tentang dunia yang jauh di awang-awang.

Salam hangat.

Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang

NB : Silahkan bagikan artikel ini kepada rekan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun