Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Lestari Pilihan

IQ Rendah, Indonesia Belum Siap Berdayakan "Green Economy" ?

18 Januari 2023   15:33 Diperbarui: 19 Januari 2023   10:25 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Digitalisasi dan ekonomi hijau (green economy) pada saat ini dan untuk masa-masa mendatang hampir pasti akan mengambil peran penting dalam keberlangsungan ekonomi sebuah bangsa. Terkhusus untuk ekonomi hijau seiring perhatian dunia yang memang sedang menyorot situasi perubahan iklim global. Sehingga setiap aktivitas ekonomi akan didorong supaya selaras dengan visi misi berkelanjutan (sustainable).

Hal ini menghadirkan peluang yang sangat besar bagi Indonesia terutama dengan sumber daya alamnya yang mendukung untuk diberlakukannya ekonomi hijau. Kita memiliki kekayaan alam dalam rupa sinar matahari sepanjang tahun, pasokan air melimpah, angin yang berhembus terus-menerus, panas bumi dalam jumlah besar, dan seterusnya.

Merupakan sebuah keuntungan tersendiri manakala potensi besar tersebut bisa kita ubah menjadi sumber energi terbarukan. Selama ini kita masih sangat bergantung pada asupan sumber energi berbahan bakar fosil dimana batubara menjadi pilarnya. Dengan semakin masifnya kesadaran terhadap perlindungan lingkungan maka cepat atau lambat eksistensi batubara dan sumber energi sejenis akan semakin ditinggalkan.

Akan menjadi kabar buruk bagi ekonomi Indonesia apabila tidak segera bergegas melakukan transisi. Terlebih bukan hanya sumber energi yang mengalami disrupsi. Bahan baku proses, teknologi pengolahan, dan sejenisnya juga disyaratkan mampu mengakomodasi prinsip efisiensi sumber daya dan ramah lingkungan.

Disamping pendanaan, transfer teknologi memegang kunci penting berhasil atau tidaknya adopsi ekonomi hijau ini dilakukan. Dengan kata lain, perihal transfer teknologi harus dijalankan secara optimal melalui persiapan yang matang.

Tidak bisa disangkal bahwa kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sangatlah menentukan proses ini. Semakin baik kualitas SDM yang kita miliki maka akan semakin mudah transfer teknologi itu berjalan.

Saat ini bahkan kita masih belum cukup mampu untuk memproduksi panel solar cell sendiri. Mayoritas masih didominasi oleh produk-produk import. Begitupun dengan teknologi pengolahan yang berbasis pada konsepsi hijau juga masih tergolong minim. Kemungkinan karena sumber dana untuk melakukan riset masih relatif terbatas,  juga kualitas SDM kita masih belum cakap untuk mendukung pengembangan teknologi penunjang.

Kalau boleh dibilang, ekonomi hijau merupakan situasi ekonomi masa depan yang menuntut visi dan pandangan jangka panjang.  Kecerdasan intelektual (IQ) bangsa kita bisa jadi masih terbatas untuk melihat hal itu. Jikalau hanya sebagian kecil saja yang menyadari dan mengambil tindakan untuk mewujudkan terlaksananya ekonomi hijau maka peluang keberhasilannya kecil.

Ekonomi hijau akan terwujud bukan sekadar karena kita memiliki kesiapan dari sisi sumber daya alamnya, melainkan SDM-nya juga harus cukup mumpuni untuk menopang hal itu. Dengan indeks kecerdasan rata-rata bangsa kita yang baru mencapai 78,49 rasa-rasanya masih sangat sulit mengharapkan daya dukung maksimal. Alih-alih menjadi kreator produk-produk hijau, kita justru hanya menjadi sasaran pasar dari produk-produk yang dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain dengan tingkat kecerdasan yang lebih baik.

Ekonomi hijau memerlukan pendekatan pemikiran yang relatif berbeda dengan cara-cara lama yang dilakukan pada business as usual. Semacam ada tuntutan yang lebih tinggi untuk memastikan ekonomi hijau ini agar benar-benar bisa berjalan. Sistemnya lebih kompleks ketimbang sistem lama yang melahirkan banyak polutan.

Sebagai contoh, jikalau dulu untuk memasak cukup dengan kayu bakar yang menghasilkan banyak asap polutan, maka sekarang kita sudah bisa menggunakan gas elpiji dengan lebih sedikit asap tapi butuh upaya ekstra dalam rangka "menanggap" gas elpiji untuk dimasukkan kedalam tabung gas. Ada teknologi yang lebih maju berperan disana.

Pada tahap selanjutnya, kompor listrik kemungkinan besar akan menggantikan penggunaan elpij. Dan untuk menciptakan kompor listrik membutuhkan teknologi lebih rumit daripada kompor gas biasa. Diperlukan kecerdasan yang lebih tinggi disana.

Simak bagaimana GF Biochemicals, perusahaan milik mantan pesepakbola Mathieu Flamini, beroperasi menghasilkan produk dari bahan-bahan terbarukan. Proses yang dilakukan untuk menghasilkan levulinic acid berbasis hayati lebih rumit dan kompleks secara kimiawi daripada proses untuk menghasilkan produk sejenis menggunakan cara konvensional dari minyak bumi yang tidak ramah lingkungan.

Tidak bisa tidak, ekonomi hijau memang membutuhkan kecerdasan yang lebih agar bisa menerapkan dan memetik buahnya. Sehingga ini bukan lagi perkara mau atau tidak mau untuk mengadopasi ekonomi hijau, akan tetapi apakah kita memiliki cukup kecerdasan atau tidak untuk melaksanakannya.

Salam hangat.

Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Lestari Selengkapnya
Lihat Indonesia Lestari Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun