Sudah sekitar 10 tahun saya menjalani profesi sebagai karyawan. Dan selama periode itu pula saya mendapati peristiwa demi peristiwa serta hingar-bingar dunia kerja profesional dimana kita berada dalam sebuah struktur organisasi perusahaan yang hirarkis.
Perintah, instruksi, atau apapun sebutannya merupakan sesuatu yang lumrah terjadi disana sebagai bagian dari rantai komando untuk menjalankan roda korporasi agar senantiasa beroperasi maksimal dan menuntaskan visi mendapatkan keuntungan setinggi mungkin.
Sukar atau kalau bisa dibilang tidak ada yang namanya demokrasi disana. Komunikasi lebih banyak didasarkan pada instruksi, perintah, seruan. Setiap titah komando atasan harus ditaati. Dengan prinsip itu mayoritas organisasi bisnis dijalankan.
Suka atau tidak suka, siapa yang menempati struktur jabatan lebih tinggi ialah yang berkuasa. Si pemilik jabatan rendah cuma bisa mengangguk dan mengiyakan setiap perintah. Segala bentuk penolakan adalah hal terlarang. Aksi pembangkangan yang layak diberi sanksi keras. Mulai dari nada suara tinggi tanda amarah yang meluap-luap sampai dengan talak pecat.
Sebagai anak buah, kita tidak bisa memilih berpartner kerja dengan siapa. Kecuali sang atasan berbaik naik memberikan kita kesempatan untuk memilih sendiri dan menentukan. Sayangnya, hal itu amat jarang.
Apa yang sudah digariskan, maka itulah yang mesti diterima. Rotasi dengan beragam dalih dan hak prerogatif sang atasan sudah melekat laksana undang-undang yang tidak bisa diganggu gugat. Siapa yang tidak sepakat dipersilahkan untuk angkat kaki keluar. Ikuti perintah atau silahkan pergi terserah Anda.
Selama puluhan atau bahkan ratusan tahun organisasi bisnis terus dikelola seperti itu. Dan sepertinya cara-cara semacam itu diamini oleh berbaris-baris generasi. Dari dulu hingga sekarang. Pertanda bahwa cara itu memang cukup efektif untuk mengendalikan keadaan?
Tapi terkadang saya merasa ada yang salah dengan cara kerja semacam itu. Entah kenapa, seharusnya anak buah level bawah sekalipun tetap memiliki hak bersuara, didengarkan, dan syukur-syukur diiyakan. Ketika hendak terjadi pergantian rekan kerja alangkah baiknya dimintakan masukan perihal ini dan itu. Untuk memperkaya khasanah keputusan bahwa hal itu akan menguntungkan semua pihak.
Tidak ada salahnya memang bagi pimpinan untuk memutuskan mengingat ia memang menanggung risiko dan tanggung jawab yang timbul oleh sebab keputusannya itu kepada pimpinan yang lebih tinggi. Hanya saja jangan sampai keputusan yang tidak memberi ruang berbicara itu dinilai sebagai keputusannya yang terbaik dan berasumsi bahwa hasilnya akan baik juga.
Ketika hasilnya tidak sesuai harapan, nyatanya si anak buah yang menjadi sasaran amukan juga. Tidak becus lah, tidak kompeten lah. Padahal risiko tersebut sudah terlebih dahulu ada. Hanya saja tidak didengarkan. Sengaja ataupun tidak disengaja.
Saya teringat sebuah pernyataan dari salah satu pimpinan perusahaan. Ia mengatakan, "Kita bekerja berdasarkan visi atasan kita.". Dengan kata lain, setiap keputusan, kebijakan, ketentuan, perintah, instruksi, dan seruan dari pimpinan kepada anak buahnya merupakan representasi atas hal itu. Kita hanya bisa bersuara manakala itu diizinkan. Begitupun sebaliknya.
Sehingga jangan pernah berharap akan ada iklim demokrasi manakala kita masih berstatus anak buah dalam profesi karyawan. Terkecuali memang ada kebijakan khusus dan radikal disana. Atau kita memilih untuk tidak berada dalam lingkungan itu lagi.
Salam hangat.
Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H