Kebetulan beberapa hari yang lalu saya mengalami sakit gigi. Gigi bagian bawah saya terasa nyeri. Rasanya tidak nyaman sekali saat dipakai untuk makan. Ketika saya tengok di kaca rumah ternyata pada sekitaran gusi terjadi pembengkakan.
Dan yang terpikirkan pertama kali saat itu adalah saya harus ke dokter gigi.
Mekanisme pendaftaran berobat ke dokter gigi di daerah tempat tinggal saya sedikit berbeda dengan pendaftaran berobat sakit pada umumnya. Yaitu harus mendaftar H-1 pada jam-jam yang sudah ditentukan.
Untuk praktik dokter gigi hari Senin waktu pendaftarannya dibuka pada hari Minggu (hari sebelumnya) mulai pukul 8 pagi sampai dengan 12 siang. Sedangkan pendaftaran untuk praktik hari Selasa akan dibuka pada hari Senin dengan jam yang sama.
Saya pun membuat persiapan jauh-jauh jam sebelumnya agar tidak ketinggalan melakukan pendaftaran. Tepat pukul 8 pagi hari Minggu saya mengirimkan pendaftaran via WhatApp ke nomor yang sudah ditentukan sebelumnya oleh pihak klinik.
Saya lihat waktu terkirim pesan WA saya adalah pukul 08.00. Pukul 8 tepat. Tidak kurang, tidak lebih. Mungkin lebih beberapa detik saja dari pengaturan waktu di Handphone (HP) saya. Seharusnya masih keburu untuk masuk dalam batas antrian 10 orang per jadwal praktik dokter gigi.
Tapi, ketika saya tunggu sampai pukul 12 siang hari tersebut nyatanya tidak ada konfirmasi balasan sebagai tanda bahwa saya terkonfirmasi masuk sebagai pasien gigi bermasalah yang hendak ditangani. Dengan kata lain, saya tidak bisa berobat gigi keesokan hari dan mesti mencoba lagi di waktu yang lain.
"Berobat gigi kok sudah seperti daftar lotere saja." Â Saya membatin. Dan memang cukup menyebalkan mendapati kenyataan bahwa saya gagal mendaftar padahal secara waktu saya merasa sudah berada pada garis start terdepan. Seharusnya.
"Atau jangan-jangan memang ada orang lain yang lebih dulu mendaftar dari saya. Tapi kan pendaftarannya dimulai jam 8 tepat sampai dengan jam 12?" Â Terkait hal ini saya memperkirakan bahwa ada dua kemungkinan mengapa saya gagal mendaftar pengobatan gigi kala itu.
Pertama, pihak klinik mengizinkan curi start pendaftaran, alias calon pasien yang mendaftar sebelum jam 8 waktu pendaftaran dibuka sudah terlebih dahulu mengirimkan WA pendaftarannya dan hal itu dianggap sah oleh pihak klinik.
Untuk kemungkinan ini jika memang benar-benar terjadi maka pasti saya akan marah besar dan memaki-maki pihak klinik karena tidak konsisten dengan peraturan yang mereka buat. Namun, sewaktu saya konfirmasi mereka menyatakan bahwa pihak klinik memiliki bukti pendaftaran yang sudah sesuai dengan batas waktu ditentukan.
Daripada semakin panjang urusan maka saya memilih percaya saja pada perkataan mereka. Biarpun sebenarnya mereka masih belum menunjukkan bukti tertulis mengenai hal itu.
Biarlah, saya percaya saja.
Sedangkan kemungkinan kedua, ada perbedaan acuan waktu antara jam 8 versi saya dengan jam 8 versi klinik. Bisa jadi jam 8 saya lebih lambat atau lebih cepat dari jam 8 pihak klinik. Yang sialnya hal itu tidak menguntungkan bagi saya. Jika kemungkinan perihal ketidaksinkronan waktu acuan ini benar adanya maka saya merasa perlu untuk menguliknya lebih jauh.
Hal ini bukan semata karena saya kalah start dalam berobat, akan tetapi jikalau situasi serupa terjadi pada urusan-urusan lain yang lebih krusial maka tentu akan banyak efek negatif yang ditimbulkan.
Bukan tidak mungkin kebiasaan jam ngaret yang kerapkali kita pergunjingkan di negara ini  merupakan imbas dari ketiadaan waktu acuan tersebut. Kalaupun ada yang menyatakan bahwa waktu acuan tersebut sudah ada, maka waktu acuan mana yang layak untuk dijadikan pedoman?
Suatu kali saya pernah mencocokkan waktu di HP saya dengan waktu yang  tertera di kanal berita salah satu stasiun televisi swasta. Dan keeseokan paginya saya mendapati diri saya hampir terlambat masuk kantor saat absen ke finger print.
Ternyata ada perbedaan waktu semenit lebih pada pengaturan waktu di finger print  dan di HP saya. Saya rasa finger print itu memang tidak diatur sesuai dengan waktu yang tertera pada kanal berita yang saya lihat sebelumnya.
Waktu yang saya jadikan acuan ternyata berbeda dengan waktu yang dipakai oleh kantor tempat kerja saya. Dan ternyata berbeda pula dengan jam operasional klinik tempat saya hendak berobat gigi. Dengan kata lain, tidak ada waktu acuan yang menjadi landasan tunggal seluruh aktivitas di berbagai sektor. Kita bergerak menurut standar waktu acuan kita masing-masing.
Padahal sinkronisasi semacam ini sangatlah diperlukan. Terutama untuk menyamakan persepsi dan memastikan bahwa kita semua memulai pada garis start yang sama. Mendapatkan apresiasi dan konsekuensi berdasarkan perhitungan waktu yang sama pula.
Apalagi bagi kalangan umat islam yang sering menjadikan jadwal waktu sholat sebagai dasar menunaikan ibadah, seperti sholat lima waktu atau berbuka puasa. Dengan tidak jelasnya standar waktu acuan yang muncul di jadwal dengan waktu yang tertera pada jam dinding rumah, jam tangan, atau HP masing-masing orang hal itu tentunya akan menimbulkan masalah.
Belum masuk waktu sholat tapi sudah sholat duluan. Belum masuk waktu berbuka puasa tapi sudah buka puasa duluan. Salah-salah gegara waktu acuan yang berbeda bisa batal puasa masal.
Kita membutuhkan standar waktu acuan itu. Yang mana hal ini harus dikoordinasikan oleh satu pihak berwenang saja. Waktu acuan dari satu pintu dan berlaku secara menyeluruh. Tentu dengan tetap memperhatikan zona waktu.
Yang tidak kalah pentingnya adalah para pemerhati waktu mulai dari pribadi, institusi, hingga korporasi juga mesti mengikuti acuan tersebut agar semua pihak yang terhubung benar-benar memiliki kesamaan persepsi terhadap waktu.
Dengan demikian mungkin kita akan benar-benar bisa mengipmlementasikan apa yang disebut dengan tepat waktu.
Salam hangat.
Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H