Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Perbaikan Lingkungan Hidup, Subsidi Angkutan Umum Lebih Mendesak daripada Subsidi Mobil Listrik

17 Desember 2022   10:26 Diperbarui: 24 Desember 2022   20:21 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak menginjakkan kaki pertama kali di perantauan tiga bulanan lalu, baru beberapa hari ini keponakan saya mulai memasuki dunia barunya sebagai karyawan salah satu perusahaan. Setelah berulang kali mencari pekerjaan, mengirimkan lamaran, dan mendapat berulang kali penolakan akhirnya ia pun bisa diterima kerja juga.

Saya dan istri biasanya berbagi tugas antar jemput karena kendaraan yang kami miliki terbatas. Sesekali istri meminta agar keponakan saya tadi pulang pergi naik angkutan umum saja. Tapi saya masih ragu untuk memberikan izin karena akses angkutan umum yang masih cukup jauh dari area tempat tinggal kami, serta adanya risiko keamanan yang mengintai seiring jam pulang kerja di malam hari.

Bagaimanapun juga, kemudahan akses akan menjadi pertimbangan besar untuk menggunakan atau mengabaikan angkutan umum. Disamping frekuensi keberangkatan armada angkutan juga turut menentukan. Setiap pengguna angkutan umum tentu ingin sesegera mungkin sampai ke tujuan tanpa perlu mengeluarkan banyak energi menunggu keberangkatan.

Bahkan seandainya memungkinkan para pengguna angkutan umum itu berharap selepas keluar rumah sudah bisa langsung naik kendaraan menuju destinasi yang ditentukan. Cepat, mudah, dan tentunya aman.

Perihal keamanan dalam mengendarai angkutan umum ini juga masih perlu menjadi perhatian. Karena dari beberapa cerita yang beredar ternyata masih berulang tindak kejahatan di angkutan umum dimana ada penumpang perempuan yang "dikerjai" oleh sopir angkutan. Beberapa diantaranya bahkan sampai kehilangan nyawa.

Kabar-kabar semacam itu tentunya memantik kengerian dari masyarakat yang akhirnya cenderung enggan dan menjauhi penggunaan angkutan umum. Sementara kita tahu bahwa sebenarnya angkutan umum tersebut memiliki peranan yang sangat besar dalam banyak hal.

Mulai dari mengurangi kemacetan, mengurangi ongkos pengeluaran harian masyrakat, dan yang tidak kalah penting adalah mereduksi emisi gas buang yang berperan besar dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Menurut Badan Energi Internasional, sektor transportasi Indonesia bertanggung jawab terhadap 23% total emisi karbon dioksida tahun 2018. Dan berdasarkan paparan Kementerian Perhubungan diketahui bahwa jumlah kendaraan pribadi ternyata jauh mengungguli jumlah angkutan umum yang ada.

Pada tahun 2021 lalu terdapat sekitar 77 juta kendaraan pribadi yang meliputi mobil, sepeda motor, dan beberapa jenis kendaraan lainnya. Sedangkan untuk angkutan umum jumlahnya hanya berkisar di angka 500 ribuan saja yang terdiri dari bus, minivan, dan beberapa angkutan publik lainnya.

Dengan demikian bisa kita tarik kesimpulan bahwa kontributor terbesar emisi karbon di Indonesia adalah kendaraan pribadi. Logika sederhananya, agar suplai emisi bisa dikurangi maka yang perlu dilakukan adalah mengurangi jumlah kendaraan pribadi tersebut atau setidaknya meminimalisir jumlah yang beroperasi dijalanan.

Para pemilik kendaraan perlu didorong untuk berpindah dari transportasi pribadi menuju angkutan umum. Dengan begitu maka emisi gas buang kendaraan akan bisa berkurang. Semakin banyaknya kendaraan yang bertumpuk dijalan menyebabkan terjadinya kemacetan. Dan kemacetan itu akan meningkatkan konsumsi bakar kendaraan yang pada akhirnya menambah jumlah gas buang kendaraan juga.

Tapi, permasalahannya tidaklah mudah untuk mengalihkan kebiasaan masyarakat untuk berpindah dari menggunakan kendaraan pribadinya ke menggunakan angkutan umum. Karena bagaimanapun juga setiap orang tentu akan memilih sesuatu yang paling menguntungkan dan dirasa paling mudah. Dan untuk saat ini menggunakan kendaraan pribadi dinilai lebih baik ketimbang menggunakan angkutan umum sebagai penunjang mobilitas pribadi.

Seruan kesadaran untuk beralih ke angkutan umum tidak akan pernah digubris jikalau kualitas layanan yang diberikan oleh angkutan umum tetap tidak berubah seperti sebelumnya. Masih tidak nyaman digunakan, masih penuh risiko gangguan keamanan, dan kurang mengakomodasi fleksibilitas kegiatan masyarakat.

Apalagi sejauh ini seperti tidak tampak upaya perbaikan kualitas layanan angkutan umum di berbagai daerah Indonesia. Barangkali hanya DKI Jakarta semasa era Anies Baswedan menjabat upaya kepedulian itu terlihat. Diluar itu semua tidak tampak adanya upaya masif dari pemerintah pusat khususnya untuk mendorong seluruh daerah agar berlomba-lomba menciptakan fasilitas angkutan umum berkualitas.

Padahal slogan-slogan sustainable, go green, green economy, dan sebagainya begitu gencar ditebarkan ke media. Juga momen KTT G20 di Bali kemarin pun mengusung tema "serba hijau" dengan mengajak serta seluruh negara anggota G20 agar memberikan perhatian ekstra terhadap nasib alam dan bumi ini.

Pemerintah justru memilih jalan yang rumit dengan menggelontorkan subsidi pembelian mobil listrik ketimbang memberikan perhatian lebih terhadap perbaikan sarana prasaranan angkutan umum. "Bukannya mobil listrik merupakan bagian dari upaya sustainable itu sendiri?" . Memang ada benarnya. Tapi banyakan salahnya juga.

Pembelian mobil listrik dipermudah. Maka akan semakin banyak yang membeli mobil listrik. Dan kita juga tahu bahwa mobil-mobil lain yang berbahan bakar bensin juga masih ada. Masih beroperasi. Mereka tidak musnah dengan sendirinya. Dengan kata lain, jumlah kendaraan di jalanan tetap akan bertambah. Cuma kali ini lebih bervariasi. Ada mobil bensin, mobil listrik, mobil hybrid, dan seterusnya.

Ujung-ujungnya tetap macet juga. Mobil berbahan bensin tetap akan membuang gas emisi dalam jumlah besar akibat terjebak kemacetan.

Angkutan umum kita memang masih jauh dari ideal. Yang diharapkan adalah ia mampu memberikan fasilitas terintegrasi, memberikan jaminan keamanan, harganya terjangkau, dan memberikan fleksibilitas tinggi kepada para penumpangnya. Tapi bagaimana semua itu akan tercapai jikalau anggaran dana untuk perbaikan kesana saja tidak ada. Ketimbang memberi subsidi untuk mobil listrik, lebih baik memberi subsidi untuk penyelenggaraan angkutan umum.

Angkutan umum seharusnya menjadi prioritas utama perbaikan apabila kita semua menginginkan yang terbaik untuk alam sekitar. Kendaraan listrik seharusnya berada dalam urutan prioritas dibawahnya. Ia hanyalah pelengkap ketika angkutan umum sudah benar-benar menjalankan peranannya secara maksimal.

Menilik kondisi alam yang semakin muram belakangan ini, perbaikan ke arah sana sangat mendesak untuk dilakukan.  Gembar-gembor forum internasional tidak akan ada gunanya tanpa adanya tindakan nyata yang tepat sasaran.

Salam hangat.

Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun