Kita yang selalu mengagung-agungkan diri sebagai negara kaya nyatanya mesti berhutang demikian besar. Menjadikan kita bertanya-tanya, apakah negara kita ini memang benar-benar kaya raya?Â
Ataukah ketidakbecusan para pengelola negara ini yang menjadikan kita laksana bangsa tak berpunya? Atau barangkali ada sebab lainnya?
Lebih miris lagi karena setiap kali pergantian presiden hutang kita justru semakin bertambah. Seolah tidak pernah ada upaya untuk menuntaskan utang-utang itu pada setiap masa jabatan.Â
Alih-alih melunasi warisan utang pendahulu, justru menambah lagi utang yang baru.
Utang diwariskan dari presiden yang satu ke presiden beriktunya. Dengan dalih untuk pembangunan maka utang pun lantas kebablasan.
Sangat jarang atau hampir tidak pernah satupun kandidat presiden republik ini yang pada masa kampanyenya mengutarakan janji perihal strategi pelunasan utang negara.Â
Tidak ada wacana tahun sekarang akan melunasi utang ke negara ini, tahun depan melunasi utang ke negara itu.
Selalu narasi-narasi yang beredar adalah tentang memajukan bangsa, mensejahterakan rakyat, menumbuhkembangkan perekonomian, dan seterusnya, dan seterusnya (meskipun realisasi hasilnya begitu-begitu juga). Sedangkan perihal hutang tidak pernah ada yang bersuara lantang.
Kalau untuk mengutarakan niat melunasi saja sudah ogah-ogahan maka bagaimana hendak menuntaskan?
"Kan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan sebagainya juga berutang. Harusnya tidak jadi masalah dong kalau Indonesia melakukannya?!".Â
Anggapan inilah yang pada akhirnya menghilangkan hasrat untuk berusaha melunasi tumpukan utang tersebut.Â