"Yang bisa menyatukan Indonesia itu cuma dua. Pertama, gempa. Yang kedua, sepak bola."Â
Kalimat itu terlontar dari mulut eks punggawa timnas sepakbola Indonesia, Firman Utina, lebih dari sepuluh tahun lalu di sebuah talk show salah satu stasiun televisi. Dan sepertinya pernyataan tersebut masih cukup relevan hingga sekarang manakala kita semua kompak menaruh simpati kepada para korban bencana gempa bumi yang terjadi di Cianjur baru-baru ini.
Setidaknya hal itu bisa menyingkirkan sejenak keriuhan perkadrunan dan percebongan yang semakin memanas seiring para tokoh politik yang mulai intens tebar pesona disini sana. Sayangnya, Indonesia tidak masuk piala dunia. Andaikata Indonesia turut serta maka mungkin jagat dunia maya kita akan semakin satu suara.
Namun, bukan sepak bola yang ingin saya bicarakan. Melainkan tentang gempa yang memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari bentang alam negara kita di kawasan cincin api ini.Â
Yang hampir pasti setiap tahunnya selalu disapa oleh gempa berintensitas rendah hingga tinggi. Yang untuk skala, waktu, dan lokasi kejadiannya masih belum bisa diprediksi sampai saat ini.
Sebagai negara rawan gempa sudah semestinya dan selayaknya strategi preventif digalakkan. Bukan untuk mencegah terjadinya gempa yang memang siapapun tidak akan mampu menangkalnya, akan tetapi lebih untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan supaya bisa meminimalisir kerugian secara materi dan sekaligus mereduksi potensi hilangnya nyawa manusia.
Ketika Presiden Jokowi mengatakan bahwa rumah para korban gempa Cianjur mesti dibangun ulang berlandaskan standar-standar bangunan anti gempa maka itu merupakan langkah yang tepat.Â
Namun, standar serupa semestinya juga diberlakukan kepada semua kegiatan pendirian bangunan lainnya. Mulai dari jalan tol, bendungan, jembatan, bahkan perumahan harus mengikuti kaidah yang sama.
Apalagi selama beberapa tahun terakhir pembangunan perumahan begitu masif dilakukan. Tanah-tanah di pinggiran kota yang awalnya hanya sepetak sawah atau kebon "tak bertuan" diborong oleh para pengembang untuk disulap menjadi lahan hunian.Â
Bahkan lokasi perumahan yang saya tempati saat ini adalah bekas rawa dan sawah yang diuruk dengan bebatuan dan tanah sebelum akhirnya menjadi tempat tinggal bagi ratusan nyawa manusia.
Hanya saja, sebagai sebuah rumah yang dibangun secara borongan seringkali permasalahan kondisi bangunan mengintai. Mulai dari lantai yang berantakan, instalasi kabel murahan, sampai dengan dinding rumah yang penuh retakan.
Ketika suatu waktu para pemilik rumah mengeluh, jawaban dari pewakilan pihak pengembang terkesan enteng sekali. "Perumahan subsidi, jadi harap dimaklumi." Sebuah pernyataan yang terasa menyakitkan hati. Terlebih, "sejelek" apapun rumah subsidi tetap saja kita selaku pembeli mesti membayarnya menggunakan uang, bukan daun pisang.
Persoalan besarnya bukanlah tentang jelek atau bagusnya bangunan. Perihal keamanan bangunan rumah adalah sesuatu yang tidak bisa dinegosiasikan. Apakah rumah yang retak itu jelek? Bisa jadi.Â
Apakah rumah yang retak itu tidak aman? Pasti. Retaknya bangunan hanyalah salah satu indikasi bahwa bangunan dibuat dengan minim perhitungan, kalau tidak bisa disebut serampangan. Pemakaian instalasi kabel berkualitas rendahan tak ayal juga memperbesar risiko terjadinya kebakaran.
Terkait perhitungan sebenarnya sudah matang. Hanya saja "matang" yang dimaksud adalah terkait mengeruk keuntungan sebesar-besarnya seraya mengorbankan kualitas bangunan yang dihasilkan dari sumber daya murahan.Â
Bahan bakunya busuk, tukang bangunannya buruk. Tapi harganya murah. Maka dari sinilah diperoleh keuntungan ekonomis itu. Dengan biaya minimal didapatkan keuntungan maksimal. Tuh kan matang perhitungannya?
Menjamurnya developer perumahan tidak diimbangi dengan keberadaan sistem kontrol keamanan bangunan perumahan yang mumpuni. Bahkan bukan tidak mungkin terkait analisa dampak lingkungan pun juga tidak dijalankan secara layak manakala memulai suatu proyek perumahan. Sebatas membebaskan tanah dari pemilik lama lantas mendirikan bangunan rumah untuk dijual dan mendapat keuntungan.
Para calon pembeli umumnya tidak banyak yang tahu sejarah dibalik tanah yang menjadi tempat berdirinya bangunan perumahan-perumahan itu. Bekas sawah kah, bekas rawa kah, bekas kuburan kah, atau bekas apa sajalah.Â
Mereka hanya tahu yang tampak oleh mata. Kuat tidaknya pondasi bangunan yang didirikan sukar untuk dibuktikan sampai kemudian terlihat retakan-retakan ataupun kerusakan bangunan. Selebihnya, kita hanya bisa berdoa semoga semua baik-baik saja.
Selama ini hanya berlaku mekanisme pasar. Sekadar pernyataan dari beberapa penghuni lama yang kecewa atau yang memujinya. Apabila isu yang berkembang adalah hal-hal baik maka baik pula lingkungan perumahan itu. Begitupun sebaliknya. Sementara tidak ada penegasan apapun dari pihak ketiga yang memiliki kapasitas untuk memberikan penilaian terhadap kelayakan dan keamanan bangunan perumahan.
Celakanya, rumah-rumah yang tidak memenuhi standar keamanan pun ternyata tetap ramai diminati pembeli karena biasanya menawarkan harga yang jauh lebih murah.Â
Bagi kita-kita yang mendambakan rumah sederhana dengan harga murah tentunya ini merupakan kesempatan yang tidak boleh disia-siakan. "Yang penting bisa punya rumah." Sampai-sampai risiko keselamatan pun diabaikan.
Kalau sudah begini lantas siapa yang patut disalahkan?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H