Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Utak-atik Taktik Konversi Kompor Listrik

27 September 2022   14:11 Diperbarui: 27 September 2022   18:31 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kompor kaca.(SHUTTERSTOCK / NavinTar via KOMPAS.com)

"Jika konversi kompor gas ke listrik diberlakukan, kemungkinan besar saya akan menolak. Tinggal di kontrakan dengan harga Rp 500.000 sebulan dan daya listrik 900 VA saja rasanya sudah berat. Apalagi ditambah kompor listrik maka itu akan sangat membebani." Ujar salah seorang ibu-ibu perihal rencana pemberlakuan kebijakan konversi gas ke listrik oleh pemerintah.

Rencana migrasi dari kompor gas ke listrik mungkin memberikan potensi keuntungan yang cukup besar di kemudian hari. Pertama, menyangkut pengurangan beban subsidi energi untuk LPG.

Menurut hitung-hitungan Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasojo, program konversi dari kompor gas ke listrik ini akan mampu menghemat sekitar Rp 85.6 triliun selama 5 tahun sejak program dijalankan.

Keuntungan kedua, beban pengeluaran masyarakat untuk bahan bakar memasak bisa dihemat 10-15%. Ketiga, mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG. Keempat, meningkatkan serapan listrik PLN yang kini sedang mengalami over supply.

Akan tetapi, berbicara tentang kebijakan konversi energi tidak semata tentang bagaimana mengejar manfaatnya di kemudian hari. Kita juga mesti memikirkan bagaimana caranya melakukan transisi ke arah sana. Karena tentu menjalankan kebijakan semacam ini tidaklah semudah membalikkan telapan tangan.

Kita harus memikirkan bagaimana para pelanggan PLN yang sebelumnya termasuk dalam golongan 450 VA, 900 VA, dan 1300 VA agar bisa menggunakan kompor listrik mengingat rata-rata daya kompor listrik mencapai 1000 Watt. Dengan demikian, agar bisa menggunakan kompor listrik secara nyaman maka para pelanggan tersebut harus beralih ke golongan 2200 VA alias naik daya.

Bukankan dengan 1300 VA saja sudah bisa? Di rumah saya, daya listrik yang dipakai adalah golongan 1300 VA. Cukup dipakai untuk menghidupkan kulkas (120 Watt), televisi (100 Watt), dan AC (500 Watt) dalam waktu bersamaan. Jika ditambah dengan kompor listrik (1000 Watt) maka kemungkinan besar hal itu tidak bisa dilakukan lagi.

Terlebih dengan golongan daya 450 VA dan 900 VA, maka untuk menyalakan kompornya saja sudah tidak kuat.

Hanya saja untuk menambah daya listrik dari golongan yang sebelumnya hanya membutuhkan 450 VA untuk menunjang kebutuhan sehari-hari, maka daya 2200 VA terasa mubazir dan buang-buang kapasitas. Begitu juga untuk golongan 900 VA rasanya juga mengalami lonjakan daya yang terlalu jauh.

Disamping itu, untuk naik kelas golongan daya listrik ini terbilang susah-susah gampang. Terutama menyangkut pemberlakuan besaran Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berbeda-beda untuk setiap golongan tadi. Sementara sampai saat ini pihak pemerintah khususnya dari PLN masih belum memiliki formulasi yang pas untuk mengatasi hal itu.

Jikalau memungkinkan barangkali kita bisa membuat formula perhitungan sederhana dari peningkatan daya listrik ini. Yakni dengan menambahkan daya kompor listrik dengan jumlah daya listrik rumah saat ini.

Kebutuhan daya kompor listrik 1000 VA ditambah dengan daya listrik rumah 450 VA maka peningkatan daya listrik yang diperlukan adalah 1450 VA. Demikian halnya dengan golongan daya listrik 900 VA menjadi 1900 VA, dan golongan 1300 VA menjadi 2300 VA.

Namun, apakah hal itu bisa dilakukan mengingat saat ini baru ada 7  golongan listrik (subsidi dan non-subsidi) rumah tangga yang disediakan oleh PLN, yakni 450 VA, 900 VA, 1300 VA, 2200 VA, 3500 VA, 5500 VA, dan 6600 VA?

Siapa yang Belum Siap?

Migrasi dari kompor gas ke listrik sebenarnya tidak bisa dibilang menghilangkan subsidi LPG. Lebih tepatnya subsidi tersebut "disatukan" dengan subsidi listrik.

PLN mungkin begitu antusias memberlakukan program konversi ini karena pasokan listrik mereka memang tengah berlebih. Terutama di kawasan Jawa dan Bali. Bahkan over supply-nya sudah melebihi 50%.

Sayangnya, pasokan listrik tersebut masih belum dirasakan sepenuhnya oleh saudara-saudara kita yang lain. Khususnya mereka yang tinggal di luar Pulau Jawa, di kawasan pelosok, dan di wilayah terluar republik ini.

Barangkali jumlah mereka memang tidak seberapa dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di Jawa. Meskipun begitu mereka tetap harus diberikan perhatian yang sama baiknya dengan yang lain.

Sehingga jikalau program konversi ini ingin dibuat merata ke seluruh pelosok negeri maka Pekerjaan Rumah yang mesti dibenahi adalah memastikan akses listrik yang handal ke seluruh penjuru negeri. Apabila masih belum mampu, maka jangan gembar-gembor dulu untuk melakukan konversi ini dalam skala yang lebih luas.

Apakah masyarakat kita sudah siap untuk menerima program konversi gas ke listrik ini?

Sebenarnya pertanyaan tersebut kurang tepat diajukan. Seharusnya kita bertanya apakah pemerintah sudah siap untuk menjalankan program konversi gas ke listrik tersebut?

Taktik dan strategi yang paling tepat, efektif, dan efisien mesti dibuat secara matang oleh pihak-pihak pemangku kepentingan. Karena pada dasarnya masyarakat tidak akan menolak program pemerintah jikalau hal itu memang baik dan menguntungkan mereka.

Karena yang paling diperlukan adalah edukasi untuk menambah wawasan tentang manfaat suatu program pada masa kini dan masa-masa mendatang. Memang diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk menjadikan masyarakat paham manfaat suatu program. Selain tentunya jangan pernah membiarkan mereka untuk berjalan sendiri mengikuti kehendak pemilik kebijakan.

Jangan-jangan upaya untuk melancarkan jalan implementasi program masih belum dilakukan. Hanya sekadar mengutarakan wacana program tanpa persiapan yang matang. Tahap demi tahapnya seharusnya sudah dipersiapkan sebelumnya. Bukan terkesan dadakan.

Program konversi gas ke listrik ini konon kabarnya sudah mulai digalakkan oleh PLN sejak tahun 2020 lalu bagi kalangan keluarga kelas menengah keatas. Namun apakah upaya itu sudah berhasil sehingga kini mulai diwacanakan agar golongan menengah kebawah juga turut menjadi objek sasaran serupa?

Entahlah!

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun